BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Epilepsi adalah manifestasi klinik yang sangat
bervariasi, mulai dari kejang umum, kejang fokal, penurunan kesadaran, gangguan
tingkah laku sampai manifestasi “aneh-aneh” sulit dimengerti. Prinsip yang
harus dipegang ialah terjadi berulang kali dengan pola yang sama, tanpa
memperhatikan tempat, waktu dan keadaan. Epilepsi bervariasi luas dalam bentuk,
penyebab dan beratnya. Cetusan abnormal mungkin melibatkan sebagian otak saja
(serangan parsial/fokal) atau daerah luas pada kedua belahan otak (serangan
umum).
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia
tanpa batasan usia, gender, ras, sosial dan ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi; di
Indonesia belum ada data yang pasti tentang insidensi maupun prevalensi. Berdasarkan asumsi bahwa Indonesia termasuk
negara yang sedang berkembang, maka angka kejadian epilepsi di Indonesia lebih
tinggi daripada di negara maju.
Di kalangan masyarakat awam masih terdapat pandangan
yang keliru terhadap epilepsi. Ini
berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di
negara-negara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi
banyak kendala. Di lain pihak, oleh karena berbagai kendala tadi maka
penatalaksanaan kasus-kasus epilepsi oleh tenaga medik masih kurang memadai.
Epilepsi
berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-medikolegal yang secara keseluruhan
dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi, bahkan
keharmonisan keluarga pasien epilepsi juga dapat terganggu. Masalah sosio-medikolegal
meliputi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk memperoleh tanggungan
asuransi, hak untuk memperoleh SIM, hak dan kewajiban dalam bidang hukum,
pendidikan, karir dan perkahwinan.
Epilepsi post trauma (PTE) adalah gangguan kejang berulang akibat cedera
otak. Cedera dapat terjadi akibat adanya trauma kepala atau operasi pada otak.
Epilepsi post trauma harus dibedakan dengan kejang post trauma (PTS), yang
menandakan kejang yang terjadi dalam 24 jam setelah cedera otak. PTS yang
terjadi dalam waktu 1 minggu setelah cedera yang disebut early PTS, dan kejang yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah
cedera yang disebut late PTS. Sekitar
20% orang yang memiliki satu kali late
PTS tidak pernah mengalami kejang lanjutan.
B. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan
fungsi otak secara intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, didasari oleh
berbagai faktor etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah
manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara
mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Epilepsi post trauma adalah
gangguan kejang berulang akibat cedera otak.
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden: 0,5-2 0/0. Insiden
meningkat menjadi 5-10% pada pasien yang mendapat operasi kepala. Pada
penderita dengan cedera kepala berat (GCS < 9) insiden meningkat menjadi
10-15% pada orang dewasa dan 30-35% pada anak-anak.
D. ETIOLOGI
Faktor yang meningkatkan
kemungkinan terjadinya PTE pada seseorang adalah:
·
Usia < 5 tahun dan > 65 tahun
·
Konsumsi alkohol lama
Genotip dengan Apolipoprotein E epsilon4 dianggap
merupakan faktor resiko walau masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
·
Faktor resiko terkait cedera yang meningkatkan risiko
terkena PTE adalah:
·
Trauma berat
·
Cedera kepala terbuka
·
Intrakranial hematom
·
Fraktur depresi
·
Kontusio
·
Koma lebih dari 24 jam
·
Adanya early PTS
·
Abnormalitas pada focal neuroimaging atau EEG pada
periode akut post cedera
E. PATOFISIOLOGI
Neuron adalah suatu tempat terjadinya kegiatan listrik dengan adanya
potensial membran. Potensial membran, tergantung permeabilitas membtan neuron
yang menseleksi ion-ion K, Na, Ca, Cl dari dalam /luar sel neuron. Perbedaan
konsentrasi ion-ion menimbulkan potensial membran (terjadi
depolarisasi,repolarisasi, dst). Serangan epilepsi merupakan gangguan fungsi
neuron-neuron otak dan tansmisi pada sinaps.
Sinaps terdiri dari presinaps dan postsinaps. Ketika terjadi
perambatan potensial aksi ke terminal, kanal Ca pada presinaps akan membuka.
Proses ini akan diikuti dengan menempelnya neurotransmitter pada membran
neuron, lalu neurotransmitter tersebut dilepaskan ke celah sinaps.
Neurotransmitter ada dua macam, yaitu neurotransmitter eksitasi dan inhibisi.
Bila neurotransmitter eksitasi yang keluar, akan ditangkap oleh reseptor yang
cocok pada postsinaps. Ikatan reseptor dengan neurotransmitter akan mengubah
permeabilitas membrane otot sehingga ion Na akan masuk. Terjadilah potensial
aksi, yang akan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Kejadian selanjutnya
adalah akan terbentuk ikatan aksin myosin sehingga otot akan berkontraksi.
Sedangkan bila neurotransmitter inhibisi yang keluar, setelah berikatan dengan
reseptor, perubahan permeabilitas akan memudahkan ion Cl masuk. Ion Cl
mengakibatkan muatan sel menjadi negative, maka terjadilah hiperpolarisasi dan
inhibisi.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang akibat suatu keadaan patologik. Apabila terdapat lesi pada
neuron di otak, ada beberapa fenomena yang terjadi :
-
Instabilitas membran sel. Membrane sel yang tidak
stabil, ketika terjadi sedikit saja rangsangan akan mengubah permeabilitas. Hal
ini mengakibatkan depolarisasi abnormal dan terjadilah lepas muatan yang
berlebihan.
-
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk
melepaskan muatan menurun, dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
berlebihan.
-
Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi gama aminobutirat acid (GABA).
-
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam
basa atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron.
Mekanisme terjadinya kejang berulang akibat trauma
otak tidak
diketahui. Lesi pada korteks tampak memegang peranan penting. Diperkirakan bahwa deposisi besi dari darah yang terekstravasasi menyebabkan kerusakan akibat
adanya radikal bebas, dan akumulasi glutamat menyebabkan
kerusakan oleh eksitotoksisitas Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa gangguan
dari sawar darah-otak kemungkinan
berkontribusi terhadap munculan kejang pada PTE.
F. KLASIFIKASI
Klasifikasi
International League Against Epilepsi (ILAE) untuk jenis bangkitan epilepsi:
1.
Bangkitan Parsial
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1
Motorik
1.1.2
Sensorik
1.1.3
Otonom
1.1.4
Psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti
dengan gangguan kesadaran
1.2.2 Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran
saat awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum tonik
klonik
1.3.2
Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks
kemudian menjadi umum tonik klonik
2.
Bangkitan Umum
2.1 Lena (absence)
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik
3.
Tak Tergolongkan
G. MANIFESTASI KLINIS
- Bangkitan Parsial Sederhana
- Tidak terjadi
perubahan kesadaran
- Bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral/fokal)
kemudian menyebar pada sisi yang sama ( Jacksonian March )
- Wajah mungkin
berpaling ke arah sisi tubuh yang mengalami kejang ( adversif )
- Bangkitan Parsial Kompleks
- Bangkitan fokal
disertai terganggunya kesadaran
- Sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik
seperti mengunyah, menelan dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan
yang jelas
- Kepala mungkin
berpaling ke arah sisi tubuh yang mengalami kejang ( adversif )
- Bangkitan Umum Sekunder
- Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau
kompleks yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum
- Bangkitan parsial
dapat berupa aura
- Bangkitan umum
yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik
- Bangkitan Umum Lena (Absence)
- Gangguan
kesadaran secara mendadak, berlangsung beberapa detik
- Selama bangkitan
kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
- Mata memandang
jauh ke depan
- Mungkin terdapat
automatisme
- Pemulihan
kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
- Sesudah itu
pasien melanjutkan aktivitas semula
- Bangkitan Umum Tonik-Klonik
- Dapat didahului
prodormal seperti jeritan, sentakan
- Pasien kehilangan
kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan kejang
kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik)
selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
- Selesai bangkitan
pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
- Pasien sering tidur setelah bangkitan
- Bangkitan Umum Atonik
- Sangat jarang kesadaran menurun, terjatuh karena
kehilangan tonus otot tidak diikuti gerakan atau serangan tonik klonik,
bisa kepala terkulai tiba-tiba.
- Bangkitan Umum Mioklonik
- Kontraksi kelompok otot anggota gerak,singkat. Bisa
serangan tunggal atau berulang. Mulai gerakan halus sampai sentakan hebat. Biasa pasien
mendadak jatuh, benda yang dipegang terlontar (flying saucer syndrome). Bisa
lateral, sinkron berulang.
- Bangkitan Umum Klonik
-
Gerakan menyentak pada ekstremitas atas dan bawah, kadang-kadang mengenai
kedua sisi tubuh. Lamanya bervariasi.
- Bangkitan Umum Tonik
-
Tonus otot sangat meningkat. Tubuh, lengan serta tungkai terlihat
kaku. Biasanya pasien sadar. Paling sering terjadi sewaktu tidur, dan
biasanya mengenai kedua sisi tubuh. Jika
seseorang sedang berdiri sewaktu kejang bermula, ia seringkali akan jatuh
-
Lamanya berlangsung < 20 detik
H. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala
dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang
ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.
Secara struktural, diagnosis epilepsi ditegakkan atas
dasar:
1. Anamnesis (auto dan allo
anamnesis)
- Pola/ bentuk
bangkitan
- Lama bangkitan
- Gejala sebelum,
selama dan pascabangkitan
- Frekuensi
bangkitan
- Faktor pencetus
- Ada/ tidaknya
penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia pada saat
terjadinya serangan pertama
- Riwayat pada saat
dalam kandungan, persalinan / kelahiran dan perkembangan bayi/anak
- Riwayat terapi
epilepsi sebelumnya
- Riwayat penyakit
epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan
neurologik
- Hal-hal yang perlu
diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, misalnya: trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau
obat-obat terlarang, dan kanker. Pada PTE perlu ditanyakan riwayat early dan late PTS.
3.
Pemeriksaan penunjang
-Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi
dan bila memungkinkan.
3.1
Pemeriksaan
Elektroensefalografi
·
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan
pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi
tertentu sesuai pencetus bangkitan
·
Kira-kira 29-38% dari pasien
epilepsi dewasa, EEG tunggal menunjukkan kelainan epileptiform. Bila diulang
pemeriksaannya, gambaran epileptiform meningkat menjadi 59-77%.
·
Bila EEG normal dan persangkaan
epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan
khusus.
·
Indikasi:
1.
Membantu menegakkan diagnosis
epilepsi
2.
Membantu prognosis pada kasus
tertentu
3.
Pertimbangan dalam penghentian
OAE
4.
Membantu dalam menentukan letak
fokus
5.
Bila ada perubahan bentuk
bangkitan
3.2 Pemeriksaan Pencitraan Otak
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan Computed Tomography Scan (CT
Scan). Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan terapi pembedahan.
Indikasi:
1.
Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
2.
Adanya perubahan bentuk bangkitan
3.
Terdapat defisit neurologik fokal
4.
Epilepsi dengan bangkitan parsial
5.
Bangkitan pertama pada usia lebih dari 25 tahun
6.
Untuk persiapan operasi epilepsi
3.3 Pemeriksaan
Laboratorium
·
Pemeriksaan darah meliputi
hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, elektrolit, kadar gula, fungsi
hati (SGOT, SGPT), ureum dan kreatinin serta lain-lain atas indikasi
·
Pemeriksaan cairan
serebrospinal bila dicurigai adanya infeksi SSP
I. TERAPI
·
Tujuan terapi adalah untuk
mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa/
dengan efek samping minimal
·
Prinsip terapi:
1.
Dilakukan bila terdapat minimum
2 kali bangkitan dalam setahun
2.
Terapi mulai diberikan bila
diagnosis telah ditegakkan dan setelah pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan dan kemungkinan efek samping.
3.
Pemilihan jenis obat sesuai
dengan jenis bangkitan
4.
Sebaiknya terapi dengan
monoterapi
5.
Pemberian obat dimulai dengan
dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sehingga dosis efektif tercapai
6.
Pada prinsipnya terapi dimulai
dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan
penggantian obat, maka dosis obat pertama diturunkan
secara bertahap dan dosis obat kedua dinaikkan secara bertahap
7.
Bila didapatkan kegagalan
monoterapi maka dapat dipertimbangkan untuk diberi kombinasi OAE
8.
Bila memungkinkan dilakukan
pemantauan kadar obat sesuai indikasi
·
Pasien dengan bangkitan pertama
direkomendasikan untuk memulai terapi bila:
1.
Dijumpai fokus epilepsi yang
jelas pada EEG
2.
Pada pemeriksaan CT Scan atau
MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan
3.
Pada pemeriksaan neurologik
dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak
4.
Ada riwayat epilepsi pada orang
tua dan saudara kandung kecuali kejang demam sederhana
5.
Ada riwayat infeksi otak atau
trauma kapitis terutama yang disertai dengan penurunan kesadaran
6.
Bangkitan pertama berupa status
epileptikus
·
Jenis Obat Anti Epilepsi
Tabel 1. Pemilihan Obat Anti
Epilepsi Atas Dasar Jenis Bangkitan Epilepsi pada Orang Dewasa
Seizure type
|
First line
|
Second line
|
Tonic clonic
|
•
Sodium
valproate
•
Carbamazepine
•
Phenytoin
|
•
Lamotrigine
•
Oxcarbamazepine
|
Absence
|
•
Sodium
valproate
|
•
Ethosuximide
•
Lamotrigine
|
Myoclonic
|
•
Sodium
valproate
|
•
Lamotrigine
|
Partial
|
•
Carbamazepine
•
Phenytoin
|
•
Lamotrigine
•
Oxcarbamazepine
•
Sodium
valproate
|
Unclassifiable
|
•
Sodium
valproate
|
•
Lamotrigine
|
Tabel 2. Dosis Obat Anti Epilepsi Untuk Orang Dewasa
OBAT
|
DOSIS AWAL
(mg/hari)
|
DOSIS RUMATAN
(mg/hari)
|
JUMLAH DOSIS PER HARI
|
WAKTU PARUH PLASMA
(Jam)
|
Carbamazepine
|
400-600
|
400-1600
|
2-3x
|
2 s/d 7
|
Phenytoin
|
200-300
|
200-400
|
1-2x
|
3 s/d 15
|
Valproic acid
|
500-1000
|
500-2500
|
2-3x
|
2 s/d 4
|
Phenobarbital
|
50-100
|
50-200
|
1
|
|
Clonazepam
|
1
|
4
|
1 atau 2
|
2 s/d 10
|
Clobazam
|
10
|
10 30
|
2-3x
|
2 s/d 6
|
Oxcarbazepine
|
600-900
|
600-3000
|
2-3x
|
|
Levetiracetam
|
1000-2000
|
1000-3000
|
2x
|
2
|
Topiramate
|
100
|
100-400
|
2x
|
2 s/d 5
|
Gabapentin
|
900-1800
|
900-3600
|
2-3x
|
2
|
Lamotrigine
|
50-100
|
20-200
|
1-2x
|
2 s/d 6
|
Tabel 3. Pemilihan Obat Anti Epilepsi Atas Dasar Jenis Bangkitan Epilepsi pada Anak
Seizure type
|
First line
|
Second line
|
Third line
|
Tonic-clonic
|
Sodium valproate
Carbamazepine
|
Lamotrigine
Oxcarbazepine
|
Phenytoin
|
Myoclonic
|
Sodium valproate
|
Lamotrigine
|
Clobazam
Phenobarbital
|
Tonic
|
Sodium valproate
|
Lamotrigine
|
Clobazam
Topiramate
|
Absence
|
Sodium valproate
|
Lamotrigine
Ethosuximide
|
Clobazam
|
Partial
|
Carbamazepine
Phenytoin
|
Sodium valproate
Gabapentin
Oxcarbazepine
|
Lamotrigine
Vigabatrin
Clobazam
Topiramate
|
Infantile spasms
|
Vigabatrin
Corticosteroids
|
Sodium valproate
Nitrazepam
|
Lamotrigine
|
Lennox-Gastaut
|
Sodium valproate
|
Lamotrigine
Topiramate
|
Clobazam
Felbamate
|
Gambar 1. Algoritma
Tatalaksana Epilepsi
Tabel 4. Efek samping obat anti-epilepsi klasik
DRUG
|
SIDE EFFECT
|
|
TERKAIT DOSIS
|
IDIOSINKRETIK
|
|
Carbamazepin
|
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual,
mengantuk, neutropenia, hiponatremia
|
Ruam morbiliform,
agranulositosis, anemia aplastik, efek hepatotoksik, Sindroma
Stevens-Johnson, teratogenecity
|
Phenytoin
|
Nistagmus, ataxia,
mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastik
|
Jerawat, coarse
facies, hirsutism, cariasis, lupus-like syndrome, ruam, Sindroma Stevens-Johnson, Dupuytren’s contracture, efek hepatotoksik,
teratogenicity
|
Valproic acid
|
Tremor, berat badan
bertambah, dispepsia, mual, muntah, kebotakan, tetratogenicity
|
Pankreatitis akut,
efek hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati , udem perifer
|
Phenobarbital
|
Kelelahan, listlesness, depresi, insomnia (pada
anak), distractability (pada anak),
hiperkinesia (pada anak), irritability
(pada anak)
|
Ruam makulopapular, exfoliation, nekrosis epidermal
toksik, efek hepatotoksik, arthritic
changes, Dupuytren’s contracture,
teratogenicity
|
Pirimidone
|
Kelelahan, listlessness, depresi, psikosis,
libido menurun, impoten
|
Ruam,
agranulositosis, trombositopenia, lupus-like
syndrome, teratogenicity
|
Ethosuximide
|
Mual, anoreksia,
muntah agitasi, mengantuk, nyeri kepala, lethargy
|
Ruam, eritema
multiformis, Sindroma Steven-Johnson, lupus-like
syndrome, agranulositosis, anemia aplastik
|
Clonazepam
|
Kelelahan, sedasi,
mengantuk, dizziness, agresi (pada
anak) hiperkinesia (pada anak)
|
Ruam,
trombositopenia
|
Tabel 5.
Efek samping obat anti-epilepsi baru
___________________________________________________________________________
OBAT
|
EFEK SAMPING UTAMA
|
EFEK SAMPING YANG LEBH
SERIUS NAMUN JARANG
|
Levetiracetam
|
Somnolen, asthenia,
sering muncul ataksia. Juga dilaporkan penurunan kecil kadar sel darah merah,
hemoglobin, dan hematokrit.
|
|
Gabapentin
|
Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan saluran cerna
|
|
Lamotrigine
|
Ruam, dizziness,
tremor, ataksia, diplopia, nyeri
kepala, gangguan saluran cerna
|
Sindroma Stevens- Johnson
|
Clobazam
|
Sedasi, dizziness,
irritability, depresi, disinhibition
|
|
Vigabatrin
|
Perubahan perilaku,
depresi, sedasi, kelelahan, berat badan bertambah, gangguan saluran cerna
|
Psikosis
|
Oxcarbazepine
|
Dizziness, diplopia, ataksia,
nyeri kepala, kelemahan, ruam, hiponatremia
|
|
Zonisamide
|
Somnolen, nyeri kepala, dizziness, ataksia, renal calculi
|
|
Tiagabine
|
Confusion, dizziness, gangguan saluran cerna, anoreksia, kelelahan
|
|
Topiramate
|
Gangguan kognitif,
tremor, dizziness, ataksia, nyeri
kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna, renal calculi
|
|
Penghentian OAE:
l Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai indeks prognosis, tergantung bentuk bangkitan.
l Gambaran EEG “normal” / membaik.
l Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan.
l Bila bangkitan timbul kembali maka dosis terakhir dipertahankan,
kemudian di evaluasi kembali.
l Dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Indikasi
dan kriteria pembedahan
1. epilepsi yang
“intractable”
2. IQ > 70
3. tidak ada
kontradiksi pembedahan
4. usia < 45
tahun
5. tidak ada
kelainan psikiatrik yang jelas
6. 20 % serangan
timbul dari lobus temporal kolateral pada EEG
Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada :
-
riwayat kejang umum tonik-klonik primer atau sekunder.
-
penggunaan lebih dari satu OAE.
-
riwayat bangkitan mioklonik.
-
masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai
terapi
-
mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
-
riwayat bangkitan neonatal
-
gambaran EEG masih abnormal
-
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin
tinggi
Kemungkinan kekambuhan kecil
pada pasien yang telah bebas bangkitan antara tiga sampai lima tahun, dan yang
selama lima tahun atau lebih.
STATUS EPILEPTIKUS
Status
epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya 2
bangkitan atau lebih di mana antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran, Namun demikian
penanganan bangkitan harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan.
PROTOKOL PENANGANAN STATUS EPILEPTIKUS
Stadium
|
Penatalaksanaan
|
Stadium I (0-10 menit)
|
-
Memperbaiki fungsi kardio
respirasi
-
Memperbaiki jalan nafas,
pemberian oksigen, resusitasi
|
Stadium II (1-60 menit)
|
-
Pemeriksaan status neurologic
-
Pengukuran TD, nadi dan suhu
-
EKG
-
Memasang infuse pada pembuluh
darah besar
-
Ambil 50-100cc darah untuk
pemeriksaan lab
-
Pemberian OAE emergensi
: Diazepam 10-20mg i.v. (kecepatan
pemberian <2-5 15="" atau="" dapat="" diulang="" kemudian="" menit="" mg="" rectal="" span="">2-5>
-
Memasukkan 50 cc glukosa 50%
dengan atau tanpa thiamine 250mg i.v.
-
Menangani asidosis
|
Stadium III (0-60/90 menit)
|
-
Menentukan etiologi
-
Bila kejang berlangsung terus
selama 30 menit setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin i.v. 15-18
mg/kg dengan kecepatan 50mg/menit
-
Memulai terapi dengan
vasopresor bila diperlukan
-
Mengoreksi komplikasi
|
Stadium IV (30-90 menit)
|
-
Bila kejang tetap tidak
teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU, beri propofol (2mg/kgBB
bolus i.v., diulang bila perlu) atau thipentone (100-250mg bolus i.v.
pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50mg setiap 2-3 menit),
dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off
-
Memantau bangkitan dan EEG,
tekanan intracranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan
|
Suatu protokol dari American Academy of Neurology untuk orang dewasa
dengan cedera kepala berat, profilaksis fenitoin terbukti menurunkan resiko
early PTS, meskipun obat anti epilepsi profilaksis tersebut tidak efektif untuk
menurunkan risiko late PTS ( kejang setelah 7 hari cedera). Fenitoin sebagai
profilaksis dapat diberikan 1 jam setelah cedera kepala dan dapat diberikan
selama 1 minggu setelah operasi kepala. Penggunaan obat anti epilepsi jangka
panjang perlu dipertimbangkan setela PTE didiagnosis.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien laki
laki berusia 18 tahun datang ke Poliklinik Neurologi RS Dr M.Djamil Padang pada
tanggal 2 November 2013 dengan:
Keluhan Utama:
Kejang pada leher
Riwayat Penyakit Sekarang:
-
Kejang
pada leher dengan kepala menoleh ke kiri dan mulut mencong ke kiri kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu,
kejang terjadi rata-rata > 5x/hari. Saat kejang pasien dalam keadaan sadar,
terkadang lidah tergigit dan mengeluarkan darah serta air liur dari mulutnya,
tidak demam, tidak sesak, dan tidak muntah. Kejang terjadi dengan durasi
rata-rata selama 5 menit. Kejang muncul secara tiba-tiba, saat pasien sedang
istirahat, tidak ada faktor pencetus apapun yang menyebabkan pasien kejang.
Sebelum muncul kejang, awalnya pasien merasakan kesemutan pada mulut dan
dahinya.
-
Kejang
pertama kali terjadi sekitar 1 minggu yang lalu saat pasien tidur tiba-tiba ia
mengalami kejang dengan kepala menoleh ke kiri dan mulut mencong ke kiri, lidah tergigit, dan
mengeluarkan darah serta air liur dari mulutnya. 3 hari kemudian tiba-tiba ia
mengalami kejang yang sama tapi tidak mengeluarkan darah dari mulutnya, dalam 1
hari tersebut terjadi kejang >5x/ hari. Esoknya pun kembali mengalami kejang
yang sama hampir >5x/hari. 2 hari kemudian kejang muncul kembali sehingga
pasien langsung berobat ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Riwayat Penyakit
Dahulu:
-
Pasien mengalami trauma kepala bagian depan sisi kanan
akibat kecelakaan lalu lintas 8 bulan lalu. Kepala depan sisi kanan terbentur
aspal. Saat kecelakaan tersebut, pasien tidak pingsan (dalam keadaan sadar
penuh bahkan masih ingat kejadian sebelumnya), tidak muntah, dan juga tidak
mengeluarkan darah dari hidung, mulut, atau telinganya. Tidak ada kejang setelah
trauma. Pengobatan pasien hanya dilakukan di puskesmas terdekat, disana hanya
dilakukan penjahitan luka di kepala. Setelah kecelakaan ini, pasien hanya
sering merasakan nyeri berdenyut pada kepala depan sisi kanannya, nyeri
dirasakan ringan dan hilang timbul sehingga pasien tidak berobat kembali.
Pasien mengaku 8 bulan setelah kecelakaan tersebut baru mengalami kejang
seperti ini.
-
Riwayat penyakit otak atau infeksi otak tidak ada
-
Riwayat kejang dan kejang demam sebelumnya tidak ada
-
Riwayat infeksi telinga tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
-
Tidak ada anggota keluarga
pasien yang menderita kejang
demam atau penyakit ayan (epilepsi)
Riwayat Pekerjaan, Sosioekonomi, Kebiasaan dan Kejiwaan:
-
Pasien seorang pelajar
-
Riwayat kecanduan alkohol dan
obat-obatan terlarang tidak ada
-
Pasien lahir secara persalinan
normal, cukup bulan, perkembangan pada masa anak-anak baik
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84x /menit
Nafas : 20x /menit
Suhu : 36,8 °C
Status
Internus :
Kepala : Asimetris,
frontal dextra lebih cekung, terdapat luka bekas jahitan pada frontal dextra,
nyeri tekan (-).
Kulit :
Tidak ditemukan kelainan
Kelenjar getah
bening
Leher :
tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Rambut :
Hitam, tidak mudah dicabut
Mata :
Pupil isokor Ө 3mm/3mm RC +/+
Thorak
Paru
:
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
:
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama murni, teratur, bising
(-)
Abdomen
Inspeksi : tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Korpus
vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibus (-)
Status Neurologikus
GCS E4 M6 V5 = 15
1.
Tanda rangsangan selaput otak
·
Kaku kuduk :
(-)
·
Brudzinsky I :
(-)
·
Brudzinsky II :
(-)
·
Tanda Kernig :
(-)
2.
Tanda peningkatan tekanan intrakranial
·
Muntah proyektil tidak ada
·
Sakit kepala progresif tidak ada
·
3.
Pemeriksaan nervus kranialis
N. I : Penciuman baik
N.
II : Tajam penglihatan baik, lapangan pandang sama
dengan pemeriksa, tidak buta warna,
diplopia -/-
N. III, N. IV, N. VI : Pupil
isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, ptosis -/-, bola mata bergerak bebas ke segala arah.
N.
V : Bisa membuka mulut, menggerakkan rahang,
menggigit, mengunyah. Refleks
kornea +/+. Sensibilitas
baik.
N.
VII : Wajah simetris.
N.
VIII, N VII : Fungsi
pendengaran baik, nistagmus tidak ada
N.
IX, N. X : Refleks muntah (+), arkus faring simetris,
uvula ditengah
N.
XI : Bisa mengangkat bahu dan bisa melihat kiri dan kanan
N. XII : Lidah
simetris
4. Pemeriksaan
Motorik :
Ekstremitas atas : eutrofi,
eutonus
Ekstremitas bawah : eutrofi,
hipertonus
Kekuatan : 5 / 5 /5 5 / 5 / 5
0 / 0 / 0 0 / 0 / 0
5. Sistem
reflek :
Reflek fisiologis : Bisep ++ / ++, Trisep ++ / ++
KPR ++ / ++, APR ++ / ++
Reflek
patologis : Refleks Hoffman
Trommer - / -
Refleks
Babinsky Group -/ -
6. Pemeriksaan
Sensorik
Rangsang raba : (-) pada kedua tungkai mulai dari pusat
hingga ujung jari kaki
Rangsang nyeri : (-) pada kedua tungkai mulai dari pusat
hingga ujung jari kaki
Rangsang suhu : (-) pada kedua tungkai mulai dari pusat
hingga ujung jari kaki
Propioseptif : (-) pada kedua tungkai mulai dari pusat
hingga ujung jari kaki
Diskriminasi 2 titik : (-)
pada kedua tungkai mulai dari pusat hingga ujung jari kaki
7. Fungsi Otonom
BAK : normal
BAB : normal
Berkeringat : normal
8. Pemeriksaan Fungsi Luhur
Memori : dalam
batas normal
Kognitif : dalam
batas normal
Bahasa : dalam batas normal
9. Pemeriksaan Koordinasi
Tes supinasi-pronasi : dalam
batas normal
Tes tunjuk hidung : dalam
batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Laboratorium
Darah lengkap :
Hb : 14,4 g/dl GDS : 105 mg/dl
Ht : 44% Na : 138 mmol/l
Leukosit : 9.100/mm3 K : 4 mmol/l
Trombosit : 257.000/mm3 Cl :
102 mmol/l
2.
Brain CT – Scan tanpa kontras
Hasil
ekspertise:
è Edema
kontusio kortex frontal dextra
è Fraktur
depresi frontal dextra
Rencana Pemeriksaan Tambahan
EEG
Diagnosis:
Diagnosis Klinis : Epilepsi simple partial post trauma kapitis
Dianosis Topik : Korteks motorik hemisfer cerebri (frontal) dextra
Diagnosis Etiologi : Fraktur depresi frontal dextra
Terapi:
Carbamazepine
2 x 200 mg p.o.
Asam Folat 2 x
5 mg p.o.
Prognosis:
Quo ad vitam :
dubia ad bonam
Quo ad sanam :
dubia ad bonam
Quo ad
fungsionam : dubia ad bonam
Edukasi:
Kepada Pasien:
- Harus patuh minum obat
- Kontrol ke pelayanan kesehatan
secara teratur
- Diperbolehkan berolahraga dengan
pengawasan dan dilakukan di lapangan /gedung olahraga (tidak di jalan umum,
ketinggian, atau air).
- Tidak diperbolehkan mengendarai
kendaraan
Kepada Keluarga Pasien:
- Beri dukungan kepada pasien
- Ciptakan suasana yang nyaman
bagi pasien agar pasien tidak stress
- Memberikan informasi kemungkinan
kejang berulang kembali
- Memberikan informasi cara
penanganan kejang
1.
Tetap tenang dan tidak panik
2.
Kendurkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan pasien telentang, dengan kepala
miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau
hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam
mulut.
4.
Observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5.
Jangan coba melawan gerakan
pasien dan tetap bersama pasien selama kejang
7.
Segera bawa pasien ke dokter atau RS bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
DISKUSI
Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berumur
18 tahun yang datang ke Poliklinik Saraf Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 2 November 2013. Diagnosis klinik pada pasien ini adalah epilepsi
simple partial post trauma kapitis, dianosis topik korteks
motorik hemisfer cerebri (frontal) dextra, dan diagnosis etiologi fraktur depresi frontal dextra. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari
anamnesis diketahu bahwa pasien mengalami kejang pada leher dengan kepala menoleh ke kiri dan mulut mencong ke kiri kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu,
kejang terjadi rata-rata > 5x/hari. Saat kejang pasien dalam keadaan sadar,
terkadang lidah tergigit dan mengeluarkan darah serta air liur dari mulutnya,
tidak demam, tidak sesak, dan tidak muntah. Kejang terjadi dengan durasi
rata-rata selama 5 menit. Kejang muncul secara tiba-tiba, saat pasien sedang
istirahat, tidak ada faktor pencetus apapun yang menyebabkan pasien kejang.
Sebelum muncul kejang, awalnya pasien merasakan kesemutan pada mulut dan
dahinya. Kejang pertama kali terjadi sekitar 1 minggu yang lalu saat pasien
tidur tiba-tiba ia mengalami kejang dengan kepala menoleh ke kiri dan mulut mencong ke kiri, lidah tergigit, dan
mengeluarkan darah serta air liur dari mulutnya. 3 hari kemudian tiba-tiba ia
mengalami kejang yang sama tapi tidak mengeluarkan darah dari mulutnya, dalam 1
hari tersebut terjadi kejang >5x/ hari. Esoknya pun kembali mengalami kejang
yang sama hampir >5x/hari. 2 hari kemudian kejang muncul kembali sehingga
pasien langsung berobat ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Pasien
mengalami trauma kepala bagian depan sisi kanan akibat kecelakaan lalu lintas 8
bulan lalu. Kepala depan sisi kanan terbentur aspal. Saat kecelakaan tersebut,
pasien tidak pingsan (dalam keadaan sadar penuh bahkan masih ingat kejadian
sebelumnya), tidak muntah, dan juga tidak mengeluarkan darah dari hidung,
mulut, atau telinganya. Tidak ada kejang setelah trauma. Pengobatan pasien
hanya dilakukan di puskesmas terdekat, disana hanya dilakukan penjahitan luka
di kepala. Setelah kecelakaan ini, pasien hanya sering merasakan nyeri
berdenyut pada kepala depan sisi kanannya, nyeri dirasakan ringan dan hilang
timbul sehingga pasien tidak berobat kembali. Pasien mengaku 8 bulan setelah
kecelakaan tersebut baru mengalami kejang seperti ini.
Dari
pemeriksaan fisik ditemukan bahwa
kepala asimetris, frontal dextra lebih cekung, dan terdapat luka
bekas jahitan pada frontal dextra. Dari hasil brain CT-Scan tanpa kontras
ditemukan edema kontusio kortex frontal dextra dan fraktur depresi frontal
dextra. Pada pasien telah dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG).
Penatalaksaan
farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah carbamazepine 2 x 200mg dan asam
folat 2 x 5mg. Edukasi juga diberikan
kepada pasien dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Allan H.Ropper, M.D.
and Robert H. Brown, D.Phil., M.D. (2005).
Neurology 8th edition. Mc graw hill companies inc.
2.
Prof. DR. Mahar Mardjono & Prof. DR. Priguna Sidharta : Neurologi
Klinis Dasar, Edisi VI, 1994, 270 – 290.
3.
Mary Carter Lombardo : Patofisiologi Konsep Klinis Proses
– proses Penyakit, Edisi 4, 1995, 964 – 972.
4.
Prof. DR. S.M. Lumban Tobing : Pemeriksaan Fisik dan
Mental; Neurologi Klinik, FKUI.
5.
Posner E. Posttraumatic Epilepsy. Diunduh pada tanggal 2
November 2013 dari http://emedicine.medscape.com/article/1184178-overview
Tidak ada komentar:
Posting Komentar