19 September 2012

Karsinoma nasofaring

Case Report Section

KARSINOMA NASOFARING


 


 


 



 


 

Disusun Oleh :

Reza Febryan 07120139

Micelia Amalia Sari 0810312135

Justin Darren Raj 0810314259


 

Preseptor :

Dr. Sukri Rahman, Sp THT-KL


 


 


 


 


 

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RSUP Dr. M. Djamil

Padang

2012


 

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1    Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak di belakang rongga hidung, di atas tepi bebas palatum mole yang berhubungan dengan rongga hidung dan rongga telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Ukuran nasofaring dari anterior-posterior secara umum pada orang dewasa adalah 2-3 cm dengan diameter transversal dan vertikal berkisar 3-4 cm.

Dinding nasofaring terdiri dari otot, jaringan fibrosa dan lapisan otot. Otot nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, dasar sphenoid dan dasar occiput yang merupakan tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Dinding depan dibentuk oleh koana dan bagian belakang kavum nasi. Bagian belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius dengan batas posterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus tubarius, sedangkan kearah superior terdapat fossa Rosenmuller atau resesus lateral.


 

Batas nasopharing:

  • Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
  • Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
  • Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
  • Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

    -Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

    - Mukosa lanjutan dari mukosa atas

  • Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

    - Muara tuba eustachii

    - Fossa rosenmulleri


     


 

Nasofaring diperdarahi oleh cabang-cabang karotis eksterna, yaitu arteri faringeal asendens dan desendens, serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Aliran balik darah vena melalui pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna.

Nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari saraf glosofaringeus dan cabang maksila dari saraf trigeminus yang menuju ke otot tensor velipalati dan stilfaringeus.

Sistem limfatik nasofaring terdiri dari pembulauh getah bening yang saling menyilang ke bagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouvier yang terletak pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya ke kelenjar limfa sepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak di permukaan superfisial.


 

Bangunan yang penting pada nasopharing

  • Ostium tuba eustachii pars pharyngeal

    Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan

nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi

menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.

  • Torus tubarius
  • Fossa rosen mulleri

Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat

predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT.

  • Fornix nasofaring

Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor

angiofibroma nasopharing

  • Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titik

optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing

sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.


Gambar 1 : Gambaran Rinoskopi Anterior

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan,

muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak.

Fungsi nasopharing :

  • Sebagai jalan udara pada respirasi
  • Jalan udara ke tuba eustachii
  • Resonator
  • Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:

  • Gaya gravitasi
  • Gerakan menelan
  • Gerakan silia (kinosilia)
  • Gerkan usapan palatum molle


 


Gambar 2: Anatomi Nasofaring

2. 2.    Epidemiologi

Karsinoma nasofaring (KNF) sering ditemukan pada orang dewasa terutama pada usia dekade ke empat, tetapi sangat jarang didapati pada anak, pada populasi ras Cina hanya 1-2% dari seluruh karsinoma nasofaring. Sebaran umur penderita antara 44-84 tahun, dan terbanyak pada umur 40-50 tahun.2 Insidens tertinggi KNF didapatkan di Cina bagian selatan, terutama di propinsi Guangdong, Guang Xi dan di daerah yang banyak ditempati oleh imigran Cina seperti di Asia Tenggara, California, Hongkong dan Taiwan. Insidens yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat-tempat tersebut di atas dijumpai pada orang Eskimo di Greendland, Kanada, Alaska, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.

    Berdasarkan geografis, KNF secara umum banyak ditemukan di negara dengan penduduk ras Mongoloid, dan daerah Cina Selatan menduduki tempat tertinggi yaitu 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guangdong atau prevalensi 39.84/100000 penduduk.2 Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

    Di Indonesia frekuensi pasien ini cukup banyak dan hampir merata di setiap daerah. Data patologi tahun 1991 menujukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki urutan ke-4 untuk penderita laki-laki dan wanita atau 5,64% dari seluruh keganasan di Indonesia. Untuk penderita laki-laki saja KNF menduduki urutan ke-2 (11,27%) dari seluruh keganasan sedangkan untuk wanita menduduki urutan ke-8 dengan 3,03% di luar hepatoma dan kanker paru.

Di RSUPN DR.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya, dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien KNF dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa yang lainnya.

2. 3.    Faktor Etiologi

  1. Virus Epstein-Barr

    Infeksi virus Epstein-Barr (EB) telah dibuktikan sebagai penyebab timbulnya karsinoma nasofaring meskipun dapat dihubungkan dengan berbagai keganasan pada manusia seperti limfoma Burkitt endemik, limfoma baik Hodgkin maupun non Hodgkin serta penyakit limfoproliferaif pasca transplantasi.

    Infeksi virus Epstein-Barr ini telah dimanfaatkan untuk menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring dengan mengukur titer antibodi dari antigen yang dikeluarkan virus ini dalam darah. Terdapat 4 antigen yang dari virus EB yaitu antigen kapsid virus (Viral Capsid Antigen = VCA), antigen yang berasal dari inti virus EB (EB Nuclear Antigen = EBNA), antigen dini virus EB (Early Antigen = EA) dan antigen dari membran sel yang terangsang virus ini (Membran Antigen = MA).

        Dalam darah penderita KNF didapatkan antibodi IgA dan IgG untuk antigen tersebut dan yang umum dilakukan adalah pemeriksaan IgA anti VCA, IgA anti AE dan IgG anti EA. Pemeriksaan IgA anti CVA sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis terutama untuk KNF jenis tak berkreatinisasi dan tak berdiferensiasi sedangkan IgA anti EA berguna untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya residif pasca pengobatan.

  2. Genetik

    Faktor genetika telah pula menjadi pusat perhatian karena ditemukannya faktor HLA yang sama pada penderita karsinoma nasofaring dan peranan reseptor sel T pada proses patogenesis timbulnya karsinoma nasofaring.

        Di bagian THT FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, berdasarkan penelitian Susilaningrum, Roezin, Munir dan Musclichan, dari hasil pemeriksaan HLA pada 20 penderita KNF secara mikrolimfositotoksisitas didapatkan fenotip antigen HLA kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63.

        Seseorang yang memiliki HLA-A24 mempunyai risiko untuk menderita karsinoma nasofaring 5,43 kali lebih besar dan yang mempunyai HLA-B63 mempunyai risiko 5,96 kali dibandingkan dengan yang tidak memilikinya.

  3. Faktor penyebab lainnya

    Faktor lain yang dapat menjadi penyebab KNF adalah faktor ras, umur, jenis kelamin, diet (makanan), faktor sosial ekonomi dan polusi terbatas pada rumah tangga. Faktor makanan terutama ikan asin yang mengandung nitrosamine menjadi faktor penting karena telah dikemukaan oleh Ho bahwa memakan ikan asin sejak di sapih ditambah dengan kekurangan vitamin, buah, serta sayuran segar menjadi faktor tingginya kejadian KNF pada penduduk di Hongkong. Asap sejenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, asap dupa dan seringnya kontak dengan zat karsinogen seperti Benzopyrene, gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk dan asap rokok merupakan hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya KNF.

2. 4.    Patogenesis

2. 4. 1.    Lokasi dan cara tumbuh nasofaring

Tumor primer karsinoma nasofaring menurut urutan frekwensinya, mempunyai predileksi di :

  1. Fossa Rosenmulleri
  2. Daerah sekitar tuba, atau dinding lateral nasofaring
  3. Dinding posterior nasofaring
  4. Atap nasofaring

Tumor primer mula-mula tumbuh berupa suatu dungkul kecil atau penebalan mukosa yang mempunyai warna dan konsistensi yang sama dengan jaringan sekitarnya. Mukosa yang menutupi tumor ini tetap mempunyai bentuk dan warna yang normal. Menurut bentuk dan cara tumbuhnya neoplasma ini dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

  1. Golongan endofitik

    Tumor kelihatan tetap kecil, tumbuh dibawah mukosa, agak lebih tinggi sedikit dari jaringan sekitarnya dan cepat menyebabkan ulkus (crepitumor).

  2. Golongan eksofitik

    Tumor tumbuh mendesak mukosa mengisi ruang nasofaring sehingga mudah mengadakan obstruksi.

    Tumor endofitik lebih banyak dijumpai daripada eksofitik. Tumor primer tumbuh terus dan tetap dibawah mukosa, tetapi mungkin juga menembus mukosa dan menimbulkan ulkus. Meskipun ada ulkus, penderita tidak mengeluh nyeri karena daerah disini peka terhadap rasa nyeri. Ulkus yang timbul menyebabkan perdarahan (epistaksis). Jadi epistaksis disebabkan oleh nekrosis spontan, tetapi mungkin juga oleh erosi vasa darah yang melebar oleh karena adanya radang sekunder. Radang sekunder menyebabkan sembab dan produksi lendir berlebihan (rhinorrea). Lendir ini dapar bercampur dengan darah, mungkin pula bercampur dengan nanah.

    Oleh karena, sebagian besar primer tumor berasal dari fossa Rosenmulleri, atau daerah sekitar orifisium tuba, maka cepat sekali timbul oklusi tuba. Oklusi tuba bisa terjadi karena :

  1. Edema akibat radang sekunder
  2. Desakan tumor primer
  3. Tumor tumbuh kedalam kanal tuba, dan kadang bisa tumbuh sampai kavum timpani

Tumor eksofitik tumbuh mendesak mukosa mengisi ruang nasofaring, sehingga lebih cepat menimbulkan obstruksi nasi. Ruang nasofaring relatif lebih lebar dari pada kavum nasi, jadi gejala obstruksi nasi disini sebenarnya termasuk gejala lanjut.

2. 4. 2.    Penyebaran karsinoma nasofaring

    Penyebaran atau perluasan karsinoma nasofaring adalah melalui 3 cara, yaitu :

  1. Metastase ke jaringan sekitar, bisa ke-3 (tiga) arah :
    1. Ke atas melalui :
  • Langsung ke atas dan merusak basis kranii.
  • Melalui foramen laseratum masuk ke fossa kranii media, dimana foramen lesserum terletak 1 cm kranial dari fossa Rosenmulleri. Antara foramen laserum dan mukosa tidak terdapat tulang maka tumor dengan mudah dapat melalui foramen ini masuk ke dalam endokranii.
  • Saraf kranial yang terkena pertama kali adalah N.VI baru kemudian N.V, N.III dan N.IV sesuai denga topografi daerah sekitar foramen laserum. Tumor kemudian dapat tumbuh ke depan dan menjadikan tekanan pada fasikulo-optikus, jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis dan dapat menyebabkan eksoptalmus.
  1. Ke depan dan bawah, melalui :
  • Kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita, dan fossa kranii anterior.
  • Orofaring

    Tumor tumbuh ke depan, melalui koana masuk kavum nasi dan dapat menyebabkan obstruksi. Dengan melalui osteum-osteum tumor dapat masuk ke dalam sinus maksilaris, sinus sfeniodalis dan sinus etmoidalis. Melalui foramen olfaktoria pada lamina kribosa, tumor masuk fossa kranii frontalis.

    Tumor dapat tumbuh ke bawah depan dan menyusup palatum mole dan merusaknya sehingga uvula tidak lagi terletak di garis tengah. Tumor mengisi orofaring dan nasofaring sehingga menyebabkan kesukaran berbicara, bernafas dan menelan makanan (disfagi).

  1. Ke samping, tumor akan masuk ke dalam rongga parafaring. Di dalam rongga ini terdapat N.IX, X, XI, XII dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat menekan dan merusak nervus-nervus tersebut.

    Tumor dapat terus menerus tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus sampai ke dalam fosa kranii posteior, sehingga N. IX, X, XI dapat rusak pada saat keluar dari foramen Jugularis dan N.XII rusak saat melawati kanalis nervus hipoglosus.

    Bila kemudian tumor tumbuh ke depan atas merusak fossa infra temporal, melalui fisura orbita dan dapat menyebabkan proptosis bulbi.

    Tumor meluas ke belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan menyusup prevertebralis.

  1. Metastase melalui aliran limfatik

    Seperti diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju kelenjar Rouveire, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda menuju ke kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring, dalam hal ini pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher sebagai metastase limfogenik pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah tersebut dan dapat menekan N.IX, X, XI, XII.

    Karsinoma nasofaring mengalami metastase limfogenik pada saat pertama kali diperiksa adalah 80-90% dan kira-kira separohnya terdapat metastase bilateral ke limfonodi leher.

  2. Metastase melalui aliran darah

    Metastase tumor secara hematogenik inilah yang menyebabkan terjadinya metastase jauh. Hal ini bila terjadi membuat prognosis buruk.


     

2.5 Patofisiologi

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Adanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik


 

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric
Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.


 

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen


 


 

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.


 


 


 

2. 6.    
Manifestasi Klinik

Gejala klinik karsinoma nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok :

  1. Gejala hidung

    Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi kadang dikira penyakit hidung lainnya seperti : rinitis kronik, nasofaring kronik dan sebagainya. Maka dari itu gejala hidung pada kanker nasofaring lebih ditekankan bila :

    1. Penderita pilek-pilek lama lebih dari 1 bulan, usia lebih 40 tahun, tapi pada pemeriksaan hidung tak tampak kelainan.
    2. Penderita pilek-pilek, ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila tampak titik-titik atau garis-garis darah, tanpa tampak adanya, kelainan di hidung dan sinus paranasal.
    3. Penderita usia tua, lebih dari 40 tahun, sering mimisan atau keluar darah dari hidung.
  2. Gejala telinga

    Gejala telinga bisa berupa : kurang pendengaran tipe hantaran, rasa penuh di telinga seperti terisi air, berdengung atau gembreg atau tinitus. Gangguan pendengaran terjadi bila ada perluasan tumor atau kanker nasofaring secara merayap ke sekitar tuba sehingga terjadi sumbatan. Meskupun letak tuba relatif dekat dengan fossa Rosenmulleri atau tumor primer, tetapi gejala telinga relatif jarang dibanding gejala tumor metastase di leher.

  3. Gejala tumor leher

    Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogenik dari kanker nasofaring, bisa unilateral ataupun bilateral. Metastase jauh dapat sampai ke organ-organ hati, paru, ginjal, limpa, otak, tulang belakang ataupun tulang lainnya. Khas tumor leher disini adalah, bila letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam M. Sternokleidomastoid, dimana masa tumor keras, tak sakit dan tidak mudah bergerak.

    Banyak ahli menyatakan bahwa tumor leher yang terletak di setengah bagian atas leher, perlu dicurigai tumor primernya di nasofaring, apalagi pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring tonsil, hipofaring dan laring tidak dijumpai kelainan. Gejala tumor leher ini merupakan gejala yang agak lanjut dari kanker nasofaring, sering masih belum disadari oleh para dokter, sehingga banyak penderita dengan tumor leher ini bahkan dirujuk ke bagian lain selain THT. Gejala tumor leher cukup besar angkanya, selitar 70-90% dari seluruh penderita karsinoma nasofaring, diperkirakan gejala inilah yang mendorong penderita datang berobat.


     


     

  4. Gejala mata

    Sebenarnya gejala mata termasuk gejala saraf kranial, karena gejala mata disebabkan oleh kelumpuhan saraf, yang berhubungan denan mata seperti: n.II, III, IV, VI. Juga karena gejala mata ini adalah gejala kranial yang dekat dengan nasofaring. Apabila kelumpuhan mengenai n.VI yang letaknya di atas foramen laserum, yang mengalami lesi akibat perluasan tumor, maka penderita akan mengeluh kurang penglihatan, yang dimaksud sebenarnya disini adalah melihat barang dobel atau diplopia. Kelumpuhan n.III dan IV mengakibatkan kelumpuhan mata, disebut juga Oftalmoplegia, serta proptosis bulbi.

    Apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikus, maka n. Optikus akan lesi, sehingga penderita mengalami penurunan ketajaman penglihatan.

  5. Gejala kranial atau gejala syaraf

    Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranii menyebabkan kelumpuhan nervus : II, III, IV, V, VI, akibat kompresi maupun infiltrasi tumor, disebut sindroma petrosfenoidal, dimana kelainan ini dimasukkan ke dalam gejala mata, karena berhubungan dengan mata. Kemudian metastasis tumor ke dalam spatium retroparotideum dapat menyebabkan kompresi nervus : IX, X, XI, XII, dan n. Servikalis simpatikus. Pada gejala kranial ini, sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif dari penderita seperti: kepala sakit atau pusing, kurang rasa atau hipastesia daerah pipi dan hidung, kadang sukar menelan atau disfagia. Gejala kranial terjadi karena perluasan tumor dengan menembus jaringan sekitar, dan juga secara hematogen.

    Gejala-gejala saraf ini meliputi:

    1. Kerusakan n.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak n.I melalui foramen oflaktorius pada lamina kribosa. Penderita akan mengeluh anosmia, dimasukkan pada gejala hidung karena mengenai organ hidung.
    2. Sindroma petrosfenoidal.

      Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat berturut-turut adalah: n.IV, III, IV, baru n.II paling akhir dan jarang terjadi.

  • Parese n.II     :memberikan keluhan penurunan ketajaman penglihatan.
  • Parese n.III     : kelumpuhan m. Levator palpebra dan m. tarsalis superior sehingga kelopak mata atas menurun, fisura palpebra menyempit, kesulitan membuka mata.
  • Parese n.III,IV,VI     : bila salah satu atau lebih dari ketiga saraf tersebut mengalami parese akan terjadi diplopia (melihat dobel) disebabkan karena kelumpuhan salah satu atau beberapa otot-otot ekstra okuler yang dipersarafi oleh n.III,IV,VI.
  1. Parese n.V : merupakan saraf sensorik dan motorik, gejala yang ditimbulkan bila parese adalah berupa parestesi sampai hipestesia pada separuh wajah atau timbul neuralgia separuh wajah.
  1. Sindroma parafaring

    Nervi kranialis yang terlibat pada sindroma ini adalah n.IX, X, XI, XII, akibat pertumbuhan dan perluasan karsinoma nasofaring.

  • Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan dari parese n.IX:
  1. Hilangnya refleks muntah.
  2. Disfagia ringan.
  3. Parese lidah.
  4. Deviasi uvula ke sisi yang baik.
  5. Hilangnya sensasi pada faring, tonsil, bagian atas tenggorok, dan belakang lidah.
  6. Salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga tengah.
  7. Takikardi pada sebagian lesi n.IX, dimungkinkan akibat gangguan refleks karotikus.
  • Gejala klinis yang ditimbulkan dari parese n.X:
  1. Gangguan motorik : afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagi, spasme esofagus.
  2. Gangguan sensorik : nyeri daerah faring dan laring, dispnea, hipersalivasi.
  • Parese n.XI     : kesukaran mengangkat atau memutar kepala dan dagu.
    • Parese n.XII : akibat infiltrasi tumor ganas melalui kanalis n. Hipoglosus, atau dapat pula karena penekanan pembesaran limfonodi pada spatium parafaring maka akan terjadi parese n.XII yang keluar melalui kanalis n. Hipoglosus, sehingga terjadi pula parese otot-otot yang dipersarafi, yaitu: m. stiloglosus, m. longitudinal superior dan inferior, m. genioglosus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul: lidah menyimpang ke sisi yang lumpuh, penderita pelo dan disfagi.

2. 7.    Diagnosa

2. 7. 1.    Anamnesa

  • Karena tidak gejala spesifik yang dijumpai pada penderita karsinoma nasofaring, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Pada awalnya banyak pasien mengeluh pilek-pilek biasa. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada keadaan lanjut, hidung akan menjadi terasa tersumbat sebelah atau keduanya. Perjalanan tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi epistaksis.
  • Keluhan telinga dapat dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eusthacius yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam ruang telinga tengah dan udara luar. kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga yang mana pendengaran sedikit menurun serta mendesing.
  • Karsinoma nasofaring juga sering menekan saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang menebabkan pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik, keluhan sensorik juga sering timbul di daerah wajah, yaitu adanya hyperesthesia, paresthesia atau dysesthesia. Selain itu pasien juga sering mengeluhkan adanya sakit kepala.

2. 7. 2.    Pemeriksaan Fisik

  • Kejadian yang paling banyak adalah pasien karsinoma nasofaring yang menunjukkan adanya masa pada servikal yang merupakan metastase yang menyebar secara limfogen. Keadaan yang sering dijumpai juga adalah keluarnya cairan serous dari salah satu lubang telinga yang dikarenakan oleh oklusi pada tuba Eusthacius.

2. 7. 3.    Pemeriksaan penunjang

  • Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasopharing dengan alat endoskopi, CT scan, MRI nasopharing dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pastinya adalah dengan biopsi jaringan nasopharing. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
  • Jika diperkirakan adanya lesi, tetapi tidak bisa dilihat langsung ataupun tidak bisa dipalpasi, maka hal ini dapat diperiksa dengan nasopharingoskopi ataupun dengan fiberoptik fleksibel ataupun juga dengan endoskopi rigid. Pada beberapa kasus, pemeriksaan dengan cara dengan endoskopi, akan ditemukan adanya lesi nodular pada region orifisium tuba Eusthacius. Sebagian masa yang ada pada nasopharing ini sangat kecil, sehingga sulit terdeteksi.
  • Magnetic Resonance Image (MRI) adalah pilihan yang paling tepat untuk melihat gambaran kanker nasopharing. Foto paru, USG hepar dan pemindaian tulang dengan radioisotop (bone scanning) dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastase pada organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimanapun akan mengubah stadium dan mempunyai konsekuensi terhadap tujuan penatalaksanaan dan pengobatan.

2. 8.    Diagnosa Banding

Ada beberapa diagnosis banding yang perlu diketahui seperti:

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis

Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenooidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor

sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai

keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring

kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam

mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.


 

2.9.    Histopatologi dan Stadium

Klasifikasi secara histopatologi dari WHO mangkatagorikan tumor ini kedalam 3 kelompok besar sesuai dengan pola dominan yang terlihat secara mikroskopik, yaitu:

  1. Karsinoma sel skuamosa ber-keratin
  2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin
  3. Karsinoma tidak berdiferensiasi. Jenis ini yang tersering dari KNF dan juga merupakan jenis yang tersering pada anak-anak dibawah usia 12 tahun.

Stadium KNF (UICC 2002)

T    : Tumor primer

Tx    : Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0    : tidak ditemukan adanya tumor primer

T1    : Tumor terbatas pada daerah nasofaring saja (lateral/posterosuperior/atap)

T2    : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga nasal tanpa penyebaran sampai daerah parafaringeal

T2a    : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau rongga nasal tanpa penyebaran sampai daerah paragaringeal

T2b    : Tumor meluas sampai daerah parafaringeal

T3    : Tumor menyerang struktur tulang dan /atau sinus paranasal

T4    : Tumor mengenai sampai daerah interfaringeal dan /atau penyebaran tumor di saraf cranial, fossa intratemporal, hipofaring, orbita atau ruangan masticator.


 

N    : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional

Nx    : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan

N0    : Tidak ada pembesaran KGB regional

N1    : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran < 6cm merupakan ukuran terbesar terletak diatas fossa supraklavikula

N2    : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran < 6cm merupakan terbesar terletak di atas fossa supraklafikula

N3    : metastasis bilateral KGB dengan ukuran > 6 cm atau terletak pada fossa supraklavikula.

N3a    : ukuran KGB > 6 cm

N3b    : KGB terletak pada daerah fossa supraklavikula

Ket. KGB di daerah garis tengah dianggap sebagai KGB ipsilateral


 

M    : metastasis jauh

Mx    : adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan

M0    : tidak ada metastasis jauh

M1    : terdapat metastasis jauh

    Grup stadium :

  • Stadium 0    : Tis-N0-M0
  • Stadium 1    : T1-N0-M0
  • Stadium IIA    : T2a-N0-M0
  • Stadium IIB    : T1-N1-M0

    T2b-N0, N1, M0

  • Stadium III    : T1-N2-M0

    T2a,T2b-N2-M0

    T3, N0,1,2-M0

  • Stadium IVA    : T4-N0, 1, 2-M0
  • Stadium IVB    : Any T-N3-M0
  • Stadium IVC    : Any T- Any N-M1
  • Stadium IVA    : T4-N0, 1, 2

2. 10.    Tatalaksana

Stadium I        : Radioterapi

Stadium II&III    : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N< 6 cm: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N> 6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Sampai saat ini radio terapi masih merupakan pengobatan utama untuk KNF. Radiasi diberikan terhadap tumor primer sebanyak 2 Gy/x, 5x per seminggu dengan dosis 66-70 Gy, sedangkan untuk kelenjag limfe leher yang membesar diberikan 60Gy. Bila tidak ada pembesaran kelenjar limfe leher juga diberikan radiasi preventif sebesar 14Gy

    Indikasi pemberian radiasi interna (braki terapi) adalah untuk kasus tumor primer yang menetap < 4 minggu pasca pemberian radiasi primer radikal, sebagai adjuvant terapi radiasi externa, tumor regional yang menetap yang diberikan bersamaan dengan diseksi leher atau pada kasus kambuh.

    Kemotrapi merupakan terapi adjuvant yang terbaik. Indikasi pemberian kemoterapi adalah adanya penyebaran tumor ke kelenjar limfe leher, metestasis jauh ke hati, paru atau tulang, infiltrasi intracranial dan kasus residif. Kemoterapi dapat diberikan secara neoadjuvan, konkuren atau adjuvant.

    Menurut rekomendasi FDA (amerika), obat-obat kemoterapi yang digunakan untuk keganasan dikepala dan leher adalah cisplastin, Carboplatin, 5-Fu, methotrexate, bleomycin, mytomicin C, dll. Yang termasuk obat-obat anti kanker jenis terbaru adalah paclitacel, gemcitabin, taxotere, dll.

    Tindkan operasi berupa pengangkatan tumor primer, namun sangat jarang dan sulit dilakukan karena lokasi tumor yang tersembunyi, atau pengangkatan residif atau rekuren KGB dengan diseksi leher radikal.

Radioterapi rekuren

    Terdapat 15-30% kasus kekambuhan regional pasca radioterapi. Yang harus diperhatikan adalah besarnya dosis dan target organ yang akan disinar. Kekambuhan sering timbul di sepanjang kelenjar jugular atas dan bawah, submental, fossa supraklavikular san lekuk sternum. Setelah dipastikan dengan FN/B atau pemeriksaan serologis, maka dapat diberikan radiasi ulang, tetapi efek samping menjadi lebih meningkat, sehingga pilihan yang tepat untuk mengatasi kekambuhan kelenjar yaitu dengan diseksi leher.

Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.

Setelah diberikan radiasi, dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

2.11 Komplikasi

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

kelainan :

  • Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
  • Ptosis palpebra ( N. III )
  • Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )


     

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.

XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

  • N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
  • N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva
  • N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole
  • N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
  • Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal

ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan

bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang,

masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.


 

2.12 Prognosis

    Prognosis tergantung dari banyak hal antara lain usia (lebih muda angka harapan lebih baik), jenis kelamin (pada KNF dewasa, prognosis wanita lebih baik daripada pria), ada/tidaknya erosi tulang basis kranial, jenis histopatologi (tipe tidak bediferensiasi mempunyai prognosis yang lebih baik), dan perluasan dari tumor primer (T), merupakan faktor prognosis terpenting, makin kecil T, prognosis makin baik.

Menurut Damayanti harapan hidup 5 tahunstadium I 67,6%, stadium II 38% sedangkan separuh stadium III dan IV meninggal pada tahun pertama setelah radiasi.

    Prasad mengatakan harapan hidup untuk 5 tahun stadium I dan II adalah 90% - 95% sedang stadium IV adalah 25% - 30 %. Rube C. et. al. Melaporkan survival untuk 2 tahun sebesar 32.1%; Min H. et. al. melaporkan survival untuk 5 tahun stadium I adalah 89,1%, stadium II 75,4%, stadium III 51,3%, dan untuk stadium IV adalah 22,2%.

    Prasad juga melaporkan bahwa survival dari penderita stadium lanjut yang diberikan terapi kombinasi kemoterapi dan radiasi lebih baik daripada radiasi saja.


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

ILUSTRASI KASUS


 

IDENTITAS PASIEN:

Nama         : A

MR        : 00770320

Umur        : 58 th

Jenis kelamin    : Laki-laki

Alamat     : Kota Nopen, Pasaman

Agama        : Islam

Pekerjaan    : Petani


 

    Masuk seorang pasien laki-laki, 58 tahun, ke bangsal THT pada tanggal 11 September 2012 dengan

Keluhan utama: Pasien rencana kemoterapi ke-5 Ca Nasofaring St IVB

Riwayat penyakit sekarang:

  • Pasien sudah dikenal sebagai penderita Ca Nasofaring St. IV B dan sudah menjalani kemoterapi sebanyak 4x
  • Telinga terasa penuh dan tuli telinga kanan ada dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu , telinga berdenging tidak ada, tidak ada cairan keluar dari telinga.
  • Bengkak dileher ada dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, awalnya hanya sebesar telur puyuh, sekarang ukuran sebesar telur ayam
  • Hidung berdarah tidak ada, hidung tersumbat tidak ada
  • Rasa mengganjal dari mulut tidak ada, sesak nafas tidak ada,
  • Penglihatan ganda tidak ada
  • Berat badan menurun kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu
  • Pasien pertama kali ke RSUP M Djamil bulan januari 2012 dengan keluhan bengkak di leher sebesar telur ayam, telinga terasa penuh dan berdenging, ada gangguan pendengaran, hidung tersumbat dan ada hidung berdarah. Pasien lalu dilakukan biopsy nasofaring dengan hasil karsinoma in situ mikro invasive dan CT Scan nasofaring dengan hasil karsinoma nasofaring dengan limfadenopati colli.


     

Riwayat penyakit dahulu :

  • Riwayat hipertensi tidak ada, riwayat DM tidak ada

Riwayat penyakit keluarga:

  • Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan :

  • Pasien bekerja sebagai petani
  • Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak 40 tahun yang lalu, dan baru 1 tahun belakangan berhenti
  • Pasien memiliki kebiasaan makan ikan asin tiap hari

Pemeriksaan fisik:

  • Kesadaran    : Compos Mentis Cooperative
  • Keadaan umum: tampak sakit berat
  • Tekanan darah    : 120/80
  • Nadi        : 80x/ menit
  • Nafas        : 20x/ menit

Kulit: teraba hangat, warna sawo matang

Kelenjar getah bening:

    Pembesaran KGB Colli (+)

Dekstra    : Level II-III ukuran 7 x 5 x 1 cm, mobile, padat, nyeri tekan (-)

Level V ukuran 1x1x0,5 cm, mobile, padat, nyeri tekan (-)

Kepala: bentuk simetris, massa (-)


 

Rambut: putih


 

Mata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

    

Telinga:

    ADS: liang telinga lapang/lapang, membrane timpani tidak terlihat/utuh


 

Hidung:

    KNDS: KN lapang/ lapang, KI dan KM eutrofi/ eutrofi, secret +/+ seromucus, septum deviasi -/-


 


 

Tenggorokan:

    Arkus faring simetris, Uvula di tengah, Tonsil T1T1


 

Gigi dan Mulut: tidak ada kelainan


 

Leher : pembesaran tiroid tidak ada


 

Thorak:

    Paru    :

Inspeksi    : retraksi tidak ada

Palpasi    : fremitus kiri = kanan

Perkusi    : sonor

Auskultasi: vesikuler , wheezing -/-, rhonki -/-

    Jantung    :

Inspeksi    : iktus tidak terlihat

Palpasi     : iktus teraba di LMCS RIC V

Perkusi    : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: suara nafas murni, bising tidak ada


 

Abdomen:

Inspeksi    : tidak tampak membuncit

Palpasi    : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi    : timpani

Auskultasi: bising usus (+) normal


 

Punggung    : tidak ditemukan kelainan


 

Alat kelamin    : tidak diperiksa


 

Anus        : tidak diperiksa


 

Anggota gerak    : akral hangat, perkusi baik, gerak motorik dalam batas normal


 


 

Pemeriksaan laboratorium


 

    Hb        : 12,3 g/dl                

Leukosit     : 9.100/mm3            

    Trombosit     : 330.000/mm3        


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Status Lokalis THT

Telinga

Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra


 

Daun telinga    

Kel kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Kel. Metabolik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tarik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan tragus

Tidak ada

Tidak ada


 

Dinding liang telinga

Cukup lapang (N)

Cukup lapang (N)

Cukup lapang(N)

Sempit

Hiperemis

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada


 

Sekret/serumen

Ada / Tidak

Ada

Ada

Bau

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Tidak ada

Tidak ada

Jumlah

Banyak

Sedikit

Jenis

Kering

Kering

Membran timpani : kanan tidak terlihat,kiri utuh


 


 


 

Gambar


 


 

  


 


 

Mastoid

Tanda radang

Tidak ada

Tidak ada

Fistel

Tidak ada

Tidak ada

Sikatrik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri ketok

Tidak ada

Tidak ada


 

Tes garpu tala

Rinne

-

+

Schwabach

Memanjang

Sama dengan pemeriksa

Weber

Lateralisasi ke kanan

Kesimpulan

Tuli konduktif

 

Tanda parece N.VII

Tidak ada

Tidak ada


 


 

Hidung

Pemeriksaan

Kelainan

Dektra

Sinistra


 


 

Hidung luar

Deformitas

Tidak ada

Tidak ada

Kelainan kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada


 

Sinus paranasal

Pemeriksaan

Dekstra

Sinistra

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri ketok

Tidak ada

Tidak ada


 

Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Vestibulum

Vibrisae

Ada

Ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada


 

Cavum nasi

Cukup lapang (N)


 

Lapang


 

Lapang

Sempit

Lapang


 

Sekret

Lokasi

Sepanjang hidung

Sepanjang hidung

Jenis

Seromukus

Seromukus

Jumlah

Sedikit

Sedikit

Bau

Tidak berbau

Tidak berbau

Konka inferior

Ukuran

Eutrofi

Eutrofi

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Licin

Licin

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Konka media

Ukuran

Eutrofi

Eutrofi

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Licin

Licin

Edema

Tidak ada

Tidak ada


 


 


 

Septum

Cukup lurus / deviasi

Cukup lurus

Cukup lurus

Permukaan

Licin

Licin

Warna

Merah muda

Merah muda

Spina

Tidak ada

Tidak ada

Krista

Tidak ada

Tidak ada

Abses

Tidak ada

Tidak ada

Perforasi

Tidak ada

Tidak ada


 


 


 


 

Massa

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Mudah digoyang

Tidak ada

Tidak ada

Pengaruh vasokonstriktor

Tidak ada

Tidak ada


 


 

Gambar


 

 


 

Rinoskopi Posterior : Tidak bisa dinilai


 

Orofaring dan mulut

Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra


 

Palatum mole + Arkus Faring

Simetris/tidak

Simetris

Simetris

Warna

Merah muda

Merah muda

Edem

Tidak ada

Tidak ada

Bercak/eksudat

Tidak ada

Tidak ada

Dinding faring

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Licin

Licin


 


 


 


 

Tonsil

Ukuran

T1

T1

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Rata

Rata

Muara kripti

Tidak ada

Tidak ada

Detritus

Tidak ada

Tidak ada

Eksudat

Tidak ada

Tidak ada

Perlengketan dengan pilar

Tidak ada

Tidak ada


 

Peritonsil

Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Abses

Tidak ada

Tidak ada


 


 

Tumor

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Gigi

Karies/Radiks

Ada

Ada

Kesan

 


 


 

Lidah

Warna

Merah muda

Merah muda

Bentuk

Normal

Normal

Deviasi

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada


 


 


 

Gambar


 

   


 

Laringiskopi Indirek : Tidak dapat dinilai

Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher : ada pembesaran KGB

Inspeksi    : terlihat pembesaran kelenjar getah bening di leher

Palpasi     : teraba pembesaran kelenjar getah bening

Dekstra    : Level II-III ukuran 7 x 5 x 1 cm, mobile, padat, Nyeri tekan (-)

Level V ukuran 1x1x0,5 cm, mobile, padat, nyeri tekan (-)


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

        
 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

    RESUME

    (DASAR DIAGNOSIS)


 

  1. Anamnesis
  • Pasien rencana kemoterapi ke-5
  • Pasien sudah dikenal sebagai penderita Ca Nasofaring St. IV B dan sudah menjalani kemoterapi sebanyak 4x
  • Telinga terasa penuh dan tuli telinga kanan ada dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu , telinga berdenging tidak ada, tidak ada cairan keluar dari telinga.
  • Bengkak dileher ada dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, awalnya hanya sebesar telur puyuh, sekarang sudah berukuran telur ayam
  • Hidung berdarah tidak ada, hidung tersumbat tidak ada
  • Rasa mengganjal dari mulut tidak ada, sesak nafas tidak ada,
  • Penglihatan ganda tidak ada
  • Berat badan menurun kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu
  • Pasien pertama kali ke RSUP M Djamil bulan januari 2012 dengan keluhan bengkak di leher sebesar telur ayam, telinga terasa penuh dan berdenging, ada gangguan pendengaran, hidung tersumbat dan ada hidung berdarah. Pasien lalu dilakukan biopsy nasofaring dengan hasil karsinoma in situ mikro invasive dan CT Scan nasofaring dengan hasil karsinoma nasofaring dengan limfadenopati colli.


     

  1. Pemeriksaan Fisik

Kelenjar Getah Bening : Pembesaran KGB Colli ada

Dextra : Level II-III ukuran 7 x 5 x 1 cm, mobile, padat, nyeri tekan (-)

Level V ukuran 1x1x0,5 cm, mobile, padat, nyeri tekan (-)

    Telinga    :

        ADS: liang telinga lapang/ lapang, membrane timpani tidak terlihat

    Pemeriksaan garpu tala didapatkan kesan tuli konduktif AD

    

  1. Diagnosa Kerja

    Karsinoma Nasofaring Stadium IV b (T3N3M0)

  2. Pemeriksaan Anjuran

    – Darah rutin post kemoterapi

  3. Terapi
  • Dexamethason 10 mg IV
  • Ondansentron 8 mg IV
  • Taxan + Dextrose 5% 250 ml
  1. Terapi Anjuran    : Kemoradiasi
  2. Prognosis

    Quo ad Vitam         : dubia at malam

    Quo ad Sanam        : dubia at malam

    Quo ad Functionam    : dubia at malam

8. Nasehat

- Konsumsi gizi yang cukup


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DISKUSI


 

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki, usia 58 tahun dengan diagnosis Karsinoma Nasofaring Stadium IV b (T3N3M0). Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan utamanya bengkak pada leher sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Awalnya bengkak dirasakan sebesar telur puyuh, kemudian makin membesar dan sekarang ditemukan sebesar telur ayam. Pasien mengeluhkan adanya telinga berdenging dan juga telinga terasa penuh sejak 1 tahun yang lalu namun sekarang tidak lagi dirasakan. Penurunan pendengaran telinga kanan ada. Penurunan berat badan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien pertama kali ke RSUP M Djamil bulan januari 2012 dengan keluhan bengkak di leher sebesar telur ayam, telinga terasa penuh dan berdenging, ada gangguan pendengaran, hidung tersumbat dan ada hidung berdarah. Pasien lalu dilakukan biopsy nasofaring dengan hasil karsinoma in situ mikro invasive dan CT Scan nasofaring dengan hasil karsinoma nasofaring dengan limfadenopati colli. Pasien memiliki kebiasaan merokok dan makan ikan asin. Pemeriksaan telinga didapatkan kesan tuli konduktif telinga kanan. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis kerja dengan Karsinoma Nasofaring stadium IV b.

    Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah rutin post kemoterapi. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah kemoterapi paliatif. Terapi yang dianjurkan pada pasien ini adalah kemoradiasi karena pasien sudah memasuki stadium IV.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA


 

  1. Roezin, averdi, dkk. Karsinoma sinonasal dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2007; H. 182-187.
  2. Adams, George L. Masa Jinak Leher dalam Buku Ajar PenyakitTHT. Edisi 6. Jakarta; EGC. 1997.; H. 440-443.
  3. Asroel, Harry. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga Universitas Sumatera Utama.
  4. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.
  5. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi kombinasi/kemoradioterapi.
  6. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
  7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Protokol Kemoterapi Karsinoma Kepala dan Leher


 

Nama        : A

Jenis Kelamin    : Laki-laki

Umur        : 58 th

No MR    : 770320

 

Tanggal :

Order

Dokter

Botol ke

Jenis Cairan

Tetes Permenit

Dimulai pukul

Paraf Perawat

Ket/Tanggal

Diagnosis

1

NaCl 0,9%

20 tetes/ menit

  

Hari 1

BB 58kg


 

TB 165cm


 

Luas Tubuh 1,65 m2


 

Taxan 280 mg


 

Cisplatin 0,9 mg

2

NaCl 0,9%

20 tetes/ menit

  

Hari 1

3

Dexamethason 10 mg IV

Diberikan pada awal hidrasi

   

4

Dexamethason 10 mg IV

Diberikan 6 jam berikutnya

   

5

Ondansentron 8 mg IV

Diberikan 30 menit sebelum pemberian Taxan

   

6

Taxan + Dextrose 5 % 250 ml

24 tetes / menit

  

Hari 2

7

Dextrose 10 % 250 ml

36 tetes/menit

  

Hari 2

8

Cisplatin + NaCl 0,9% 500 ml

42 tetes/menit

  

Hari 2

9

NaCl 0,9% 500 ml

20 tetes /menit

  

Hari 2


 


 

tweets

temen-temen

translate it

Google-Translate-Chinese (Simplified) BETA Google-Translate-English to French Google-Translate-English to German Google-Translate-English to Italian
Google-Translate-English to Japanese BETA Google-Translate-English to Korean BETA Google-Translate-English to Russian BETA Google-Translate-English to Spanish
Powered by
Grab this widget