mendapat pengajaran yang sungguh berharga dari ayah kedua ce.
ketika kami bercengkrama (ah, lebih tepatnya beliau bercerita, saya mendengarkan sembari sesekali menimpali) mengenai kehidupan.
beliau mengajarkan tentang cinta pada anak gadisnya yang ia anggap sudah mengerti dan membutuhkannya.
"celi tahu betapa seriusnya tentang rasa itu?
perasaan yang tidak bisa dipaksakan, ketika dihilangkan pun akan meninggalkan luka yang bagi hati kita, apalagi wanita akan menjadi derita dan sakit yang tidak bisa dipungkiri.
maka berhati-hatilah untuk bermain dengannya, ujilah terlebih dahulu, takar seberapa di kita, seberapa di orang itu, jangan menurutkan keinginan menggebu sesaat, pada akhirnya setialah yang menentukan cinta itu akan terus bertahan, ketulusan menerima, tak pun saling menyakiti saat tak merasakan hal yang sama, hargai pengakuannya namun pertimbangkan niatnya" (fyi, redaksi disadur dari bahasa ibu, bahasa minang)
Apak, begitu ce memanggil beliau, adalah tetangga rumah kami semasa ce kecil, ce sering dititip disana , sudah menjadi keluarga sendiri hingga sekarang. minggu kemarin ketika tercetus rindu itu, maka ce main ke sana. tak habis cerita kami seharian, banyak nasehat yang disampaikan. kami pun sempat masak berdua (oho, sebenarnya tidak berdua, Apak tidak mengizinkan ce bantuin beliau masak, beliau bisa mandiri katanya). Apak yang dulu mengajarkan disiplin kepada kami, titah-titah beliau yang tegas namun memang untuk kebaikan kami bersama, beliau sungguh gemar bercerita, dan cerita2 beliau benar-benar disampaikan dalam perspektif berbeda.
"jangan pikirkan saya, saya sudah 72 tahun, tinggal menunggu hari saja " ucapnya sambil tersenyum
" lho, ce berarti juga menunggu hari, kan ga tau kapan" jawab ce keheranan.
" hahaha, kan pintar celi tu, sengaja mengungkapkan kalimat seperti itu, sebagian orang yang mendengarnya pasti langsung prihatin thdp Apak, namun dalam hati Apak menertawai orang itu, dia tak sadar, dia pun termasuk dalam pernyataan yang disebutkan -menunggu hari-" beliau pun terkekeh.
Apak dan Ibuk sudah menikah sejak kira2 40 tahun yang lalu, memiliki 5 orang anak, hidup sederhana dengan rumah yang nyaman. Apak sungguh pribadi yang koleris dan sanguinis , sedangkan Ibuk benar-benar melankolis, riwayat kenapa mereka bisa menikah baru ce ketahui kemarin itu, karna dahulu ce dianggap masih anak kecilnya yang lugu (beuh) dan belum perlu mengkonsumsi kisah ini, tapi kemarin udah boleh (yay ^_^). banyak energi positif yang mereka salurkan kepada kami dahulunya dan sekarang pun masih. tak pernah rasanya sekali pun melihat mereka bertengkar (atau mungkin mereka benar2 menjaga agar tak menampakkannya di depan kami).
pernyataan beliau berikut ini bisa saja benar, bisa juga tak sepenuhnya seperti itu ;
" salah satu yang menguatkan ikatan hati dalam pernikahan adalah keturunan"
ps: jadi pengen nulis tetang hal ini karna barusa baca bukunya Asma Nadia "Catatan Hati Seorang Istri", semuanya cerita sedih, duka, deritanya prahara rumah tangga, nah disana bukan hanya cinta yang menentukan bahtera itu bisa berlayar dan survive hingga tujuan atau tidak,masih butuh pengorbanan, setia dan keimanan yg kuat kpd pemberi rasa cinta itu.