21 November 2009

Contoh proposal penilitian bwt skill lab


 

Ps: ini juga dapetnya dr dokumentasi senior, tp sm yg nulis belom izin (coz ga kenal, hehehe mudah2an aja boleh dipublikasiin, kan ga menghilangkan sumber otentiknya, mudah2an kakak tu dapet pahala juga bagi2 ilmu, bisa dipedomanin hasil karyanya)

Tp c heran dengan BAB III nya, kok bukan metode penelitian sih?ada yg tau kenapa?

Well, let's check it out

------warning!!!bukan untuk diplagiat,dijiplak,di co-pas abis, wokeh


 

JAMUR ASPERGILLUS SEBAGAI SALAH SATU KEMUNGKINAN ALERGEN PENCETUS RINITIS ALERGIKA DI POLIKLINIK THT

RS. Dr. M DJAMIL PADANG


 

Usulan Penelitian


 

Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

sebagai pemenuhan untuk melaksanakan tugas skills lab

BLOK 14

Oleh

AULIA RAHMANIKE

NBP: 04 120 044

Disetujui oleh:


 


 


 


 

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2006


 

Halaman kedua

USULAN PENELITIAN

Judul Penelitian            :


 


 


 

Cabang Ilmu                : Parasitologi

Data Mahasiswa

    Nama Lengkap        : Aulia Rahmanike

    Nomor Buku Pokok        : 04 120 044

    Tanggal Lahir            : 07 November 1986

    Tahun Masuk FK Unand    : 2004

    Nama PA            : Prof. DR.dr.Hj Zuryati Nizar SpPA(k)

    Jenis Penelitian            : Primer Eksperimental

                            Padang, 15 November 2006


 

Diketahui oleh:

Pembantu Dekan I                        Mahasiswa Peneliti

DR Dr.Masrul, Msc. SpGK                     Aulia Rahmanike

NIP: 131 755 539                         NBP: 04 120 044


 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

    Rinitis alergika-reaksi alergi pada hidung dengan manifestasi peradangan (Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Nusjirwan Rifki, 2001), merupakan suatu keadaan atopik yang paling sering ditemukan, menyerang sekitar 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat (Price Silvia Anderson, Wilson Lorraine McCarty, 1995). Dalam suatu survey di Indonesia, 14% penduduk menderita rinitis alergika. Penelitian ISAAC (International Studies for Asthma Allergy in Childhood) di beberapa kota di Indonesia, didapatkan 30-40% anak-anak usia 13-14 tahun mempunyai keluhan pilek, bersih, atau hidung tersumbat dalam satu tahun terakhir, pada saat tidak menderita flu (http://www.papdi.or.id.htm, Juli 2002).

    Atopik (penyakit aneh) adalah salah satu bentuk Immediate Hypersensitivity (hipersensitivitas tipe cepat). Biasanya terjadi pada manusia sebagai respon imun yang menyimpang dan tidak diharapkan (Subowo, 1993), dan pada umumnya bersifat herediter.

    Alergi hidung ini banyak dialami pasien tanpa dirinya sendiri menyadari, dan alergen (pencetus reaksi alergi) yang menimbulkan gejala tidak hanya satu tapi terdiri dari banyak alergen (http://www.drreddy.com.htm, Oktober 2001). Alergen biasanya berasal dari kandungan udara, seperti serbuk sari, rumput-rumputan, dan ribuan alergen lain, yang engapung di udara. Banyak orang rentan lebih dari satu bahan (Price Silvia Anderson, 1995).

    Alergen yang dapat mencetuskan timbulnya reaksi alergi pada hidung ini banyak terdapat dalam kandungan udara (http://www.drreddy.com.htm, Oktober 2001). Sejumlah jamur non patogen yang terkandung di dalam udara bisa menyebabkan reaksi alergi pada pasien yang rentan, dan hal ini timbul setelah pasien terpapar beberapa kali dengan jamur jenis tertentu. Diantaranya adalah Alternaria, Cladosporium, Aspergillus, Helmithsporium,Penicillum. Di United Kingdom dilaporkan bahwa penyebab umum alergi hidung adalah debu rumah, serbuk sari, rumput-rumputan, Aspergillus fumigatus, dan kucing.

    Genus Aspergillus merupakan salah satu genus terbesar golongan jamur yang jumlah spesiesnya ratusan. Saat sekarang 20-30 spesies Aspergillus terlibat dalam penyakit manusia, berupa infeksi dan alergi. Diantaranya yang terpenting adalah Aspergillus fumigatus, A. flavus, A. niger. Aspergillus memproduksi jutaan spora yang siap diterbangkan angin sehingga menjadi bagian dari kandungan udara dan bisa berperan sebagai salah satu alergen bagi individu yang rentan bila terhirup ketika bernafas.

    Berdasarkan hal di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk menentukan peran jamur Aspergillus sebagai salah satu kemungkinan alergen pencetus rinitis alergika pada pasien rinitis alergika yang datang berobat ke Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang selama bulan Desember 2006.


 

  1. Perumusan Masalah

    Apakah jamur Aspergillus berperan sebagai salah satu kemungkinan pencetus rinitis alergika di Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang?

  2. Tujuan Penelitian
    1. Tujuan Umum

      Menentukan presentase penderita rinitis alergika dengan salah satu kemungkinan alergen pencetusnya adalah jamur Aspergillus.

    2. Tujuan Khusus
      1. Mengenali bentuk koloni jamur Aspergillus pada kultur usapan hidung penderita rinitis alergika.
      2. Menentukan presentase ditemukannya koloni jamur Aspergillus pada kultur usapan hidung penderita rinitis alergika.
      3. Melihat penyebaran rinitis alergika pada kelompok umur tertentu dan hubungannya dengan jamur Aspergillus sebagai salah satu alergen pencetus gejala klinik rinitis alergika.
      4. Melihat penyebaran rinitis alergika berdasarkan jenis kelamin dan hubungannya dengan jamur Aspergillus sebagai salah satu alergen pencetus gejala klinik rinitis alergika.


 

  1. Manfaat Penelitian
    1. Mendapatkan gambaran sejauh mana Aspergillus berperan sebagai alergen pencetus rinitis alergika di Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang.
    2. Pedoman terapi kausal pada penderita rinitis alergika.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


 

RINITIS ALERGIKA


 

  1. Pendahuluan

    Hipersensitivitas adalah penyimpangan dari respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Tahun 1906, Von Pirquet mengusulkan istilah allergie untuk suatu keadaan respon imun yang menyimpang dari biasanya (bahasa Yunani: allos = yang lain, ergon = kerja). Hal ini menyebabkan semua keadaan penderita yang mengalami respon imun yang menyimpang (misalnya keadaan penderita yang mengalami reaksi terhadap toksin, serbuk sari, atau urtikaria sampai yang disebabkan oleh makanan tertentu pada saat itu) disebut alergi (Subowo, 1993). Pada alergi terdapat kerusakan jaringan sehingga pada dasarnya hipersensitivitas adalah alergi juga. Oleh sebab itu, alergi atau hpersensitivitas dapat didefenisikan sebagai reaktifitas yang berubah-ubah terhadap antigen yang dapat menimbulkan reaksi patologik pada hospes yang telah tersensitisasi dengan antigen tersebut sebelumnya.

    Klasifikasi

    Gell dan Coombs pada tahun 1963 mengklasifikasikan reaksi hipersensitivitas dalam empat jenis (Price Silvia Anderson, Wilson Lorraine McCarty, 1995; Agus Syahrurachman, Aidilfiet Chatim, Amin Soebandrio, et all, 1993; http://macmcm.com.htm, Oktober 2001):


     


     

    Tipe I    : Reaksi Hipersensitivitas tipe cepat

    Adalah suatu interaksi antara antigen dengan sel-sel yang secara pasif tersensitisasi oleh IgE (antibodi yang disebut reagin atau antibodi homositotrof) terikat pada permukaan sel melalui tempat khusus pada bagian Fc. Interaksi ini menyebabkan pelepasan substansi aktif, seperti histamin, serotonin (pada manusia tidak penting, hanya pada beberapa binatang) SRS-A (Slow Reacting Substances of Anaphilaxis), kinin dan ECF-A (Eosinophil Chemotactic Factor). Contoh dari reaksi ini adalah hay fever (seasonal rhinitis allergica), bronchial asthma, beberapa reaksi alergi terhadap obat, makanan, dsb (Subowo, 1993).

    Ada 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat, yaitu anafilaktik (bersifat sistemik) dan atopik (bersifat lokal). Reaksi anafilaktik disebabkan oleh antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, serangga, atau makanan), karbohidrat, dan ada juga yang disebabkan oleh hapten, yaitu baru bertindak sebagai antigen bila berikatan dengan protein tubuh (antibiotik, obat anestesi lokal, analgesik, atau zat kontras diagnostik) (Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990). Faktor herediter hampir tidak ditemukan pada kasus anafilaktik, sebaliknya pada kasus atopik faktor herediter sering berperan. Kasus anafilaktik timbul karena disengaja, misalnya saja reaksi alergi terhadap obat-obat tertentu, berbeda dengan kasus atopik yang muncul secara alamiah. Masa sensitisasi dari reaksi anafilaktk relatif sangat singkat, berbeda dengan reaksi atopik yang biasanya memerlukan waktu yang lama sebelum timbul gejala klinik alergi untuk pertama kalinya. Gejala yang jelas dari reaksi anafilaktik adalah kontraksi otot polos yang berlebihan. Keadaan patologi yang sering ditemukan adalah shock, tergantung pada jenis individu. Sedangkan gejala utama dari reaksi atopik adalah udema, walaupun ada yang menemukan timbulnya kontraksi otot polos yang mungkin berbeda untuk jenis antigen yang tidak sama. Desensitisasi untuk kasus anafilaktik cukup mudah, sedangkan untuk kasus atopik hal ini sukar, bahkan hanya untuk membuktikan saja.

    Pada kebanyakan kasus atopik, antigen yang terlibat adalah dari golongan nonprotein. Reaksi atopik yang sering ditemukan adalah rinitis alergika, asma dan dermatitis atopik. Rinitis alergika karakteristik dengan peradangan pada membran mukosa hidung akibat reaksi alergi, merupakan penyakit atopik yang paling sering ditemukan di masyarakat Amerika Serikat, tapi tidak menyebabkan kematian. Asma didefenisikan secara klinik sebagai suatu kondisi yang intermiten dengan kontriksi jalan nafas yang reversibel. Hiperaktivitas terhadap beberapa substansi mengakibatkan peradangan. Otot polos pada paru-paru mengalami spasme, jaringan di sekitarnya meradang, dan terjadi sekresi mukus pada saluran nafas. Diameter dari jalan nafas berkurang sehingga menimbulkan wheezing karena penderita bernafas. Asma dan rinitis sering muncul bersama-sama. Gejala hidung dilaporkan 28%-78% dari penderita asma dan asma dijumpai 19%-38% dari penderita rinitis alergika (http://www.papdi.or.id.htm, Juli 2002). Atopik asma biasanya disebabkan oleh berbagai alergen terutama yang dihirup dan ditelan. Alergen yang dihirup misalnya debu rumah (sekitar 50%), serbuk sari tumbuh-tumbuhan, dan bulu binatang. Makanan dan obat-obatan merupakan alergen dari jenis ingestan.

    Dermatitis atopik bersifat kronik, merupakan suatu peradangan yang disertai gatal lapisan terluar kulit. Penyakit ini sering berkembang pada orang-orang dengan riwayat rinitis alergika atau asma, atau mempunyai anggota dengan keadaan tersebut. Penyebabnya sebagian besar dari makanan, tetapi ada juga yang disebabkan oleh debu rumah dan bulu binatang.

    Tipe II    : Reaksi Sitotoksik

    Adalah interaksi antara antibodi (IgG atau IgM) dengan antigen pada atau bergabung dengan baik sekali dengan suatu komponen permukaan sel (Price Silvia Anderson, Wilson Lorraine McCarty, 1995; Agus Syahrurachman, Aidilfiet Chatim, Amin Soebandrio, et all, 1993). Interaksi ini akan mengakibatkan kerusakan sel, biasanya (walau tidak selalu) bergabung dengan komplemen. Pada dasarnya kerusakan sel terjadi melalui tiga cara, yaitu (Agus Syahrurachman, Aidilfiet Chatim, Amin Soebandrio, et all, 1993):

    1. Fagositosis sel itu melalui proses opsonic adherence (Fc) atau Immune adherence (C3).
    2. Reaksi sitotoksik ekstraseluler oleh sel K (killer cell) yang mempunyai reseptor untuk IgFc.
    3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen.

    Contoh reaksi jenis ini adalah beberapa penyakit hemolisis, autoimun, dan hemaglutinasi (Price Silvia Anderson, Wilson Lorraine McCarty, 1995; Subowo, 1993; Agus Syahrurachman, Aidilfiet Chatim, Amin Soebandrio, et all, 1993).


     


     

    Tipe III    : Reaksi Kompleks antigen-antibodi

    Adalah suatu interaksi antara antigen dan antibodi (IgG atau IgM) yang dapat menyebabkan pengaktifan komplemen dan penggumpalan trombosit (Price Silvia Anderson, Wilson Lorraine McCarty, 1995; Subowo, 1993; Agus Syahrurachman, Aidilfiet Chatim, Amin Soebandrio, et all, 1993). Hal ini akan menyebabkan kerusakan sel-sel. Contoh reaksi jenis ini adalah reaksi arthus, serum sickness, alergi obat-obatan, dan glomerulonephritis.

    Tipe IV    : Reaksi Hipersensitivitas tipe lambat

    Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (cell mediated immune reaction) adalah suatu interaksi antara antigen dengan sel tersensitisasi yang akan menghasilkan limfokin. Limfosit yang teransang akan berubah menjadi sel yang besar seperti limfoblas yang dapat merusak sel target yang mengandung antigen pada permukaannya. Kerusakan sel akibat reaksi ini bisa ditemukan pada penyakit infeksi kuman (seperti TBC atau lepra), penyakit infeksi virus (variola, morbili, atau herpes), penyakit infeksi jamur (candidiasis atau histoplasmosis), dan penyakit infeksi parasit (schistosomiasis atau leishmaniasis).


 

  1. Definisi

    Rinitis alergika adalah suatu alergi, termasuk hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) yang menyerang hidung (sebagai organ target) dan dapat menimbulkan reaksi peradangan pada mukosa hidung. Alergi hidung ini termasuk salah satu bentuk dari atopik.

Membran mukosa hidung, tenggorokan, dan sepanjang saluran pernafasan, turun sampai ke paru-paru, mengandung sel-sel pengahasil mukus yang membantu dalam menangkap partikel kecil dari benda asing yang kemudian akan disapu keluar tubuh, hampir sama fungsinya dengan sel-sel yang mengandung silia, yaitu rambut-rambut yang dapat menyapu langsung benda asing keluar tubuh. Sel-sel ini dapat bekerja lebih hebat dengan ransangan dari antibodi tertentu, yang dikenal dengan IgE, dan oleh zat kimia seperti histamin, yang dibebaskan oleh sistem imun akibat rangsangan dari alergen. Paparan dengan alergen ini akan meningkatkan produksi mukus hidung, yang akan berdampak munculnya reaksi yang menyerupai reaksi peradangan pada mukosa hidung.


 

  1. Epidemiologi

    Rinitis alergika menyerang 20% dari populasi anak-anak sampai dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat, tetapi di negara-negara kurang berkembang penyakit ini jarang dijumpai. Dalam suatu survei di masyarakat, 14% penduduk Indonesia menderita rinitis alergika. Dengan kata lain penyakit ini lebih banyak dijumpai pada negara-negara dengan sosial ekonomi yang baik. Diperkirakan 1 dari 5 penduduk Amerika Serikat menderita semacam alergi saluran pernafasan.

    Dalam suatu simposium tentang rinitis alergika, berjudul "Clinical, Humanistic, and Economic Outcomes of Care in New Millenium" yang merupakan suatu simposium bersama dengan rapat tahunan (2000) The American College of Allergy, Asthma, and Immunology, Eli Meltzer, MD, Clinical Professor of Pediatrics, Universitas California, San Diego, mengatakan bahwa rinitis alergika terjadi 15%-20% pada orang dewasa di Amerika dan lebih dari 42% pada anak-anak. Alergi hidung terjadi pada semua umur, walaupun prevalensinya meningkat pada dekade kedua dan ketiga. Rinitis alergika tidak mengenal jenis kelamin, ras, dan suku bangsa tertentu. Faktor herediter sepertinya mempunyai peranan penting dalam terjadinya rinitis alergika, seperti halnya pada penyakit atopik lain, diturunkan secara autosomal dominan.


 

  1. Klasifikasi

    Rinitis alergika dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

    1. Rinitis alergika musiman (Seasonal rhinitis allergica)

    Rinitis alergika jenis ini disebut juga dengan hay fever, merupakan suatu alergi spesifik dari membran mukosa hidung terhadap serbuk sari dan karakteristiknya yang utama adalah hidung berair, bendungan (kongesti) di hidung, bersin, disertai gatal pada hidung, mata dan tenggorokan. Gejalanya muncul secara periodik, terjadi sepanjang musim penyerbukan dari tanaman dan penderita sensitif terhadap serbuk sari maupun spora dari jamur yang berterbangan di udara selama masa penyerbukan.

    Rinitis jenis ini biasanya ringan, tapi pada beberapa orang bisa menjadi suatu penyakit yang melelahkan karena penderita terus-menerus bersin, rinore yang banyak, dan pruritus yang tidak sembuh-sembuh. Pucat yang hebat dan pembengkakan membran mukosa hidung menyertai gejala-gejala di atas. Yang paling menyolok adalah ditemukannya infiltrasi eosinofil yang sangat banyak pada sekret (mukus) hidung.


     


     


     

    1. Rinitis alergika abadi (Perennial (nonseasonal) rhinitis allergica)

    Rinitis alergika jenis ini karakteristik dengan timbulnya gejala hidung yang terus-menerus, intermiten tanpa adanya hubungan dengan musim. Gejala yang terjadi akan menetap sepanjang tahun.


 

  1. Etiologi
    1. Etiologi seasonal rhinitis allergica

    Serbuk sari dan spora jamur

    Serbuk sari sebagai penyebab penyakit alergi hidung berasal dari tumbuhan yang penyerbukannya dibantu oleh angin sebagai penyerbukan silang. Beberapa jenis tanaman menghasilkan serbuk sari yang sangat ringan dan mudah diterbangkan angin dimana dalam jumlah yang cukup dapat mensensitisasi individu yang rentan secara genetik, seperti grasses (sejenis rumput hias yang sengaja dipelihara manusia), weeds (rumput liar) dan beberapa jenis pohon.

    Tanaman yang penyerbukannya tergantung pada serangga, seperti goldenrod, dandelion (rumput dengan bunga berwarna kuning) dan berbagai jenis bunga, tidak menyebabkan timbulnya gejela-gejala rinitis alergi kecuali jika penderita melakukan kontak langsung yang sangat dekat dengan tanaman tersebut, seperti membaui atau mencium bunga dan berkebun.

    Ragweed adalah pencetus yang paling penting pada rinitis alergika. Gejalanya biasanya parah dan berlangsung lama. Dari suatu penelitian didapatkan hasil bahwa 75% penduduk Amerika Serikat dengan rinitis alergika sensitif terhadap ragweed.

    Spora jamur terdapat dalam kandungan udara, dapat menyebabkan timbulnya gejala alergi hidung pada penderita yang sensitif. Di Amerika Serikat yang terbanyak menyebabkan alergi ini adalah jenis Alternaria dan Homodendrum. Hebatnya, gejala yang timbul dipengaruhi oleh kehangatan dan kelembaban udara karena kedua hal ini mempengaruhi pertumbuhan jamur.


 

  1. Etiologi perennial rhinitis allergica

Sebagian besar kasus rinitis alergika jenis ini disebabkan oleh alergen yang dihirup:

  1. Debu rumah

    Merupakan campuran dari beberapa partikel yang terkandung di udara. Banyak diantaranya adalah alergen yang kuat, seperti:

    1. Tungau debu

      Banyak rumah mengandung debu yang terkontaminasi oleh suatu genus daru tungau, yaitu Dermatophagoides. Serangga ini dan produk yang dihasilkannya dipercaya sebagai antigen (alergen) yang menyebabkan timbulnya gejala rinitis alergika.

    2. Alergen yang berasal dari binatang

      Binatang melepaskan bulu, serpihan kulit, air liur yang kering, sekret air mata, maupun urin. Kemudian semuanya akan terbawa oleh aliran udara dan terhirup oleh penderita ketika bernafas. Cara lain bisa melalui kontak langsung antara binatang peliharaan dengan pemilik binatang tersebut.

    3. Spora jamur

      Jamur hidup di tempat yang basah dan lembab di seluruh rumah.

  2. Occupational allergen

    Pekerja-pekerja ini berkontak terus-menerus dengan alergen, misalnya saja pekerja pabrik tepung, detergen, dan kayu.

  3. Makanan

    Beberapa ahli berpendapat bahwa makanan adalah faktor yang penting dalam menyebabkan rinitis alergika abadi, tetapi hubungan imunologik langsung antara makanan yang ditelan dengan rinitis persisten sulit untuk ditemukan. Banyak pasien yang terbukti alergi terhadap makanan ternyata mendapatkan gejala lain, seperti gangguan saluran cerna, asma, urtikaria, atau anafilaktik sebagai tambahan gejala alergi hidung.

  4. Produk tumbuh-tumbuhan

    Sensitisator kuat terhadap alergi, seperti biji kapas, biji rami, atau tepung biji jarak.

  5. Iritan yang tidak spesifik, terdiri dari:
    1. Asap tembakau (asap rokok)

      Asap tembakau merupakan suatu iritan pernafasan yang sudah diakui mengandung berbagai agen toksik.

    2. Polutan udara
    3. Parfum
    4. Kosmetik
    5. Asap dari bahan kimia
    6. Berbagai jenis pembersih
    7. Bahan-bahan kimia industri
    8. Udara dingin, berangin, dan perubahan suhu udara.


 

  1. Patogenesis

    Rinitis alergika merupakan salah satu bentuk dari penyakit atopik reaksi hipersensitivitas tipe I. Untuk timbulnya suatu reaksi hipersensitivitas,maka individu harus mempunyai kontak yang efektif dengan alergen.

    Terdapat 2 fakta dalam menerangkan keadaan atopik, yaitu:

    1. Individu dengan hipersensitivitas tipe atopik mengandung reagin dalam darahnya yang spesifik terhadap alergen tertentu. Konsentrasinya sesuai dengan derajat sensitivitas tes kulit. Ini membuktikan kalau individu pernah terpapar dengan alergen tersebut sebelumnya.
    2. Reagin yang terdapat dalam darah meningkat 2-4 kali dari jumlahnya sebelumnya setelah suntikan dari ekstrak serbuk sari. Ini membuktikan kalau reagin diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan dari alergen.

    Reaksi atopik adalah reaksi antara antibodi (reagin) dengan antigen, reaksi ini terdiri dari dua jenis, yaitu:

    1. Reaksi segera

      Reaksi alergi tipe I yang klasik ini menjadi jelas setelah terpapar antigen atau alergen dalam tempo sekitar 5-30 menit dan akan mereda dalam waktu 30-60 menit kemudian. Gejala yang timbul pada reaksi ini disebabkan oleh pelepasan substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel basofil dan mastosit (mast cell). Molekul antigen akan terikat oleh imunoglobulin dari kelas IgE yang terpancang melalui bagian Fc-nya pada membran mastosit. Ikatan ini akan menyebabkan terjadinya proses biokimia yang akan berakhir dengan pelepasan mediator yang dikandung di dalam butir-butirnya. Hal ini terjadi karena IgE bersifat sitotropik. Syarat lain terhadap timbulnya degranulasi adalah alergen dalam ikatannya dengan IgE harus dalam bentuk menjembatani antara IgE yang berdampingan. Ishizaka (1970) menduga bahwa pelepasan mediator oleh mastosit diawali oleh perubahan-perubahan struktural dari bagian Fc dari IgE yang telah mengikat antigen sehingga memacu aktifitas enzimatik yang berakhir dengan pelepasan mediator. Perubahan dari Fc akan mempengaruhi komponen membran sel mastosit yaitu enzim adenilat siklase yang berperan dalam menguraikan ATP menjadi c-AMP. Mempertahankan kadar c-AMP intraseluler penting dalam menjaga stabilitas granul mastosit. Ketidakseimbangan c-AMP akan menyebabkan kerusakan granul yang berakibat pembebasan substansi aktif, seperti histamin, serotonin, slow reacting substance, selanjutnya akan menyebabkan manifestasi klinis dari penyakit antara lain kontraksi otot polos yang berlebihan, kebocoran pembuluh darah, bengkak, kulit memerah, sekresi lendir, pruritus dan hipotensi (syok).

    2. Reaksi tahap lambat dari alergi (Late phase reaction)

      Gejala klinik yang tampak pada tahap ini merupakan perkembangan dari reaksi segera, seperti berkembangnya bintul dan kemerahan kulit menjadi eritema, indurasi, rasa panas, dan gatal dalam tempo 6-8 jam setelah terpapar alergen. Reaksi ini akan menghasilkan proses radang yang dimulai dengan infiltrasi eosinofil, netrofil dan peletakan fibrin. Keadaan ini akan menetap 1-2 hari dilanjutkan dengan infiltrasi sel mononuklear (makrofag, fibroblas).

      Hasil akhir dari reaksi ini adalah kerusakan jaringan. Pada dasarnya kedua reaksi di atas merupakan akibat dari degranulasi mastosit. Dari suatu uji kulit pada penderita alergi, didapatkan kalau 20% penderita hanya melewati reaksi segera, 66-85% berlanjut ke reaksi tahap lambat dan hanya 6-14% yang mengalami reaksi tahap lambat saja.


 

Jenis-jenis mediator yang terlibat pada reaksi alergi, antara lain:

  1. Mediator jenis pertama
    1. Histamin

      Histamin yang dilepaskan secara cepat menyebabkan bintul dan kemerahan pada kulit, disamping pengaruh lain seperti perangsangan saraf sensorik, peningkatan pembuluh darah kecil, kontraksi otot polos dan sekresi mukus. Perangsangan histamin melalui reseptor H1. Daya biologik yang penting dari histamin dala reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah kekuatan kemotaktiknya terhadap eosinofil. Histamin tidak hanya bisa menarik eosinofil ke daerah alergi, tetapi juga bisa menonaktifkan dan menahan sel-sel migrasi ke luar lebih lanjut.

    2. Faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphyllaxis, ECF-A)

      Mediator ini bersifat kemotaktik terhadap eosinofil, disimpan dalam mastosit dan basofil dalam bentuk setengah jadi.

    3. Faktor kemotaktik netrofil anafilaksis (Neutrophil Chemotactic Factor of Anaphyllaxis)

      Mediator ini bersifat kemotaktik terhadap netrofil.

  2. Mediator jenis kedua

    Meliputi beberapa mediator yang dihasilkan secara tidak langsung oleh karena pelepasan asam arakidonat dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonat merupakan substrat untuk dua macam enzim yaitu siklooksigenase dan lipooksigenase.

    1. Mediator yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase

      Melalui jalur siklooksigenase dihasilkan mediator jenis prostaglandin dan tromboxan.

    2. Mediator yang dihasilkan melalui jalur lipooksigenase

      Aktifase enzim lipooksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok leukotrien.

      1. Leukotrien C4, D4, dan E4 (Slow-reacting Sunstances of Anaphyllaxis, SRS-A)

        SRS-A merupakan campuran antara leukotrien C4, D4, dan E4 dalam suatu jumlah yang reaktif, dapat bervariasi, disekresi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag, sel mast dan basofil.

      2. Lukotrien B4

        Aktivitas biologik mediator jenis ini diarahkan pada leukosit sebagai kemotaktik.


         

    3. Faktor pengikat trombosit (Platelet Activating Factor/PAF)

      PAF merupakan lipid dengan berat molekul rendah, sebagai pengaktif kuat pada trombosit dan dapat lebih penting dibandingkan dengan mediator alergi umumnya atau mediator inflamatoris. Mediator ini secara cepat menyebabkan wheal and flare pada kulit manusia. Yang menjadi generator pembentukan PAF pada reaksi alergi maupun reaksi nonimunologik antara lain eosinofil, netrofil, trombosit, dan makrofag. PAF mendorong terjadinya proses radang dan menimbulkan hiperaksi saluran nafas.

  3. Mediator jenis ketiga

    Mediator jenis ini dilepaskan melalui degranulasi mencakup heparin, kemotripsin/tripsin dan IF-A (Inflammatory Factor of Anaphyllaxis). IF-A mempunyai efek kemotaktik lebih besar dibandingkan dengan ECF-A dan NCF-A.


 

  1. Gejala Klinik
    1. Sneezing (bersin)

      Bersin merupakan gejala yang paling karakteristik. Kadang bisa mencapai 10-20 kali dalam waktu yang singkat. Terjadinya tanpa peringatan sebelumnya, tetapi bisa didahului gatal yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi penderita atau rasa iritasi pada hidung.

    2. Rhinore (hidung berair)

      Mukus hidung dikeluarkan seperti air, jernih, dan tidak purulen. Bisa sangat banyak dan terus-menerus. Mukus hidung yang banyak ini dihasilkan dari sekresi sel goblet dan kelenjar mukosa hidung yang berlebihan oleh karena meningkatnya aktifitas keduanya akibat pengaruh mediator yang dihasilkan pada proses alergi.

    3. Nasal congestion (bendungan hidung)

      Disebabkan oleh udem mukosa hidung. Awalnya muncul sebentar-sebentar, paling mengganggu pada malam hari. Jika obstruksi hidung semakin parah, akan mempengaruhi proses aerasi dan drainase dari sinus paranasal dantuba eustachia. Hal ini akan menyebabkan sakit kepala atau sakit telinga. Pada anak-anak, bendungan hidung merupakan keluhan utama, malahan satu-satunya. Obstruksi hidung yang lama akan menyebabkan penderita bernafas melalui mulut, mendengkur, pilek yang tidak sembuh-sembuh dan bunyi sengau ketika berbicara. Pernafasan mulut akan menyebabkan tenggorokan terasa kering, sakit dan teriritasi. Iritasi pada tenggorokan akan menimbulkan batuk pendek dan tidak produktif. Dada terasa sempit, kadang cukup parah sehingga penderita akan merasa nafasnya memendek. Dada yang sesak mengganggu pasien terutama pada pasien dengan batuk yang semakin parah di malam hari. Gejala seperti ini merupaka suatu peringatan kalau penyakit akan berkembang ke arah asma.

    4. Pruritus hidung

      Gatal pada hidung akan menimbulkan ciri khas pada penderita alergi hidung akibat seringnya menggaruk hidung terutama pada anak-anak dengan arah atas dan keluar. Munculan ini dikenal dengan "allergic salute" atau hormat alergi.

    5. Gejala mata

      Gatal dan lakrimasi adalah gejala utama pada penderita alergi. Mata mungkin merah dan gatal, terdapat lingkaran gelap di sekitar mata ("allergicshiners", tampak seperti mata menghitam padahal sebenarnya diakibatkan oleh hambatan aliran darah ke jaringan di bawah mata karena bendungan dan pembengkakan). Gejala mata yang semakin parah dapat menyebabkan fotofobia, rasa sakit pada mata, dan mata lelah.

    6. Gejala Sistemik, seperti lemah, malaise, depresi mental, irritabilitas, letih dan anoreksia)


 

  1. Diagnosis
    1. Anamnesis
      1. Anamnesis pribadi (mencakup nama, umur, jenis kelamin, dan lain-lain)
      2. Keluhan utama dan riwayat penyakit
      3. Penyakit terdahulu yang pernah diderita
      4. Perawatan-perawatan di rumah sakit
      5. Obat-obatan yang tidak tahan
      6. Alergi terhadap makanan
      7. Riwayat penyakit alergi pada keluarga
    2. Pemeriksaan fisik

      Pemeriksaan fisik harus dibuat lengkap. Mulai dari kulit, mata (hiperemi, udem, sekret mata yang berlebihan), telinga (telinga tengah sering menjadi penyulit rhinitis alergika), hidung

    3. Tes kulit
      1. Tes Prick (tes tusuk)

        Dilakukan epikutaneus. Tes Prick yang positif merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya teskulit intradermal. Tes Prick mempunyai nilai yang penting untuk diagnosis penyakit alergi jika dibandingkan dengan tes intradermal yang sering menghasilkan positif palsu.

      2. Tes intradermal
    4. Tes provokasi

      Untuk rinitis alergika, tes yang sering dilakukanadalah tes provokasi hidung. Tes ini dilakukandengan menyemprotkan alergen ke mukosahidungatau dengan menghisap alergen yang kering melalui rongga hidung.ter ini dianggap positif bila timbul gejala alergi setelah beberapa menit. Tes provokasi hidung initidak memepunyai peranan dalam diagnosis rinitis alergika karena sulit dan berbahaya.

    5. Pemeriksaan laboratorium
      1. Jumlah leukosit dan hitung jenis sel

        Pada keadaan alergi, jumlah leukosit normal, kecuali apabila disertai dengan infeksi. Eosinofilia sering ditemui pada keadaan alergi, walaupun tidak spesifik, jumlahnya berkisar antara 5-15%

      2. Sel eosinofil pada sekret hidung

        Usapan hidung untuk memeriksa eosinofil mempunyai arti untuk kasus rinitis alergika jenis abadi atau rinitis alergika kronik.


         

      3. Serum IgE total

        Meningkatnya serum IgE total menyokong adanya penyakit alergi, tapi hanya pada 60-80% penderita.

      4. IgE spesifik terhadap alergen tertentu.

        Diperiksa secara in vitro dengan RAST (Radio Allergo Sorbent Assay) dan ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).


 

  1. Penatalaksanaan

    Terdapat tiga pertimbangan penatalaksanaan rinitis alergika, antara lain:

    1. Usahakan mengurangi paparan antigen atau alergen (dan iritan).
    2. Pengobatansupresi untuk mengurangi gejala-gejala secara nonspesifik
    3. Hiposensitisasi khusus untuk mengurangi respon terhadap alergen yang tidak dapat dihindari.

Avoidance therapy

Tindakan penghindaran adalah yang paling baik dilakukan terhadap alergen yang berhubungan dengan rumah dan pekerjaan.

Pharmacology (symptomatic therapy)

  1. Antihistamin

    Sangat berguna dalam mengontrol bersin, rinore, pruritus hidung, tapi kurang berguna dalam mengatasigejala obstruksi hidung dan gejala pada mata. Obat-obatan jenis ini umumnya efektif diberikan oraldan dapat diberikan dalam beberapa dosis sehari, jika perlu dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efek samping yang sering timbul sepertimengantuk, letargi, membran mukosa terasa kering, kejang, dan kepala terasa ringan. Gejala-gejala ini sering disertai gangguan persepsi dalam sehingga aktivitas yang memerlukan konsentrasi penuh sebaiknya dikurangi atau dihentikan sama sekali.

  2. Amin simpatomimetik

    Terdiri atas efedrin, isoefedrin, fenilpropanolamin, berfungsi sebagai dekongestan mukosa,sedikit atau banyak dapat menyebabkan stimulasi psikomotor sehingga dapat mengimbangi pengaruh penenang dari agen-agen antihistamin. Penggunaan berlebihan dalam waktu yang lama dapat memberikan respon dekongestan pada awalnya yang dilanjutkan dengan respon obstruksi yang lama. Bila sampai pada keadaan ini, pengobatan topikal pada hidung dihentikan sama sekali.

  3. Kortikosteroid

    Penggunaannya sebagai antiinflamasi. Penggunaan steroid sebagai salah satu manajemen terapi untuk rinitis alergika masih sedikit. Hal ini dikarenakan efek sampingnya yang sangat terkenal pada pemakaian jangka lama. Steroid topikal yang dapat diterima karena dianggap cukup aman seperti beklometason dan flunisolid, efektif secara lokal dan dimetabolisme secara cepat oleh hati.

  4. Mast cell stabilizers

    Yang termasuk obat jenis ini adalah sodium kromolin yang dapat mencegah pemecahan granul sel mast sehingga menghambat pembebasan histamin dan mediator lainnya. Obat ini bertindak sebagai terapi pencegahan jika dimulai beberapa minggu sebelum musim alergi datang. Selain itu, obat ini juga bermanfaat untuk terapi rhinitis alergika jenis abadi.

Imunotherapy

Disebut juga dengan hiposensitisasi. Dilakukan dengan memberikan alergen spesifik secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lamadengan maksud untuk memodifikasi reaksi yang terjadi. Indikasi untuk imunoterapi adalah alergi yang tidak terkontrol dengan baik walaupun sudah dilakukan tindakan secara optimal untuk menghindari alergen dan pengobatan dengan pemberian antihistamin.

Operasi

Dilakukan apabila pengobatan lain mengalami kegagalan. Tujuan operasi di sini adalah untuk mengurangi gejala dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul akibat alergi.


 

  1. Diagnosis Banding
    1. Rhinitis medikamentosa

      Setiap pasien yang datang dengan bendungan hidung harus ditanyakan secara hati-hati tentang jumlah dan frekuensi pemakaian obat tetes hidung.

    2. Reserpin rhinitis

      Pasien yang mendapat obat reserpin akan mengeluh hidung tersumbat.hai ini merupakan efeksmping penggunaan obat.anamnesis tentang riwayat penggunaan obat akan membantu penegakan diagnosis rinitis ini.


       


       

    3. Benda asing

      Adanya benda asing di dalam rongga hidung akan menimbulkan keluhan hidung tersumbat unilateral disertai dengan pengeluaran mukus hidung yang purulen dan busuk yang biasanya adalahkacang polong, buncis, kancing, dan penghapus.

    4. Cerebrospinal rhinorrhea

      Penyakit ini mungkin mengikuti cedera kepala. Cairan serebrospinal selintas bisa menyerupai cairan yang dikeluarkan pada rinitis alergika. Dalam beberapa kasus biasanya unilateral. Cairan spinal mengandung glukosa sedangkan mukus
      hidung tidak. Hal ini bisa dijadikan dasar untuk pemeriksaan glukosa.


 

  1. Komplikasi

    Banyak pasien rinitis yang tercatat menderita alergi saluran pernafasan lainnya. 30% dari pasien yang tidak berhasil diobati dengan imunoterapi akan berkembang menjadi asma alergi.komplikasi lain yang disebabkan oleh peradangan hidung kronik seperti otitis media dengan kehilangan pendengaran, sinusitis, polip hidung, atau polip sinus.


 

  1. Prognosis

    Biasanya baik dengan tindakan pencegahan dan terapi yang adekuat, tapi ada juga ditemukan kasus dimana alergi memburuk atau berkembang dengan adanya alergen baru. Pengobatan sesegera mungkin dapat mencegah dan mengurangi sensitisasi terhadap alergen baru.

ASPERGILLUS

  1. Pendahuluan

    Dengan berkembangnya terapi yang sukses dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan meningkatnya jumlah individu yang rentan secara imunologi, jamur telah menjadi salah satu agen penting sebagai penyebab penyakit. Struktur jamur lebih kompleks dibandingkan struktur bakteri. Jamur termasuk sel eukariotik dengan membran ini dan dinding sel yang terbentuk dari selulosa dan kitin. Jamur besifat heterotrop,mendapatkan makanan dari degradasi secara enzimatik substrat organik.bisa hidup sebagai parasit pada jaringan hidup dan sebagai saprofit pada substrat organik yang mati.

    Bentuk koloni yang tumbuh pada medium agar pentingdalam bidang kedokteran sebagai identifikasi dari jenis jamur tersebut. Mold (jamur berbentuk filamen) tumbuh sebagai masa protoplasma yang kering dan berbentuk seperti kapas. Jamur ini memproduksi hifa seperti antena yang akan menyokong spora terminal. Permukaan hifa akan memperluas bentuk koloni. Bagian hifa yang tertanam dalam medium agar akan mengekstraksimakanan dari substrat yang disediakan. Yeast (jamur bentuk uniseluler) mempunyai koloni yang basah, berbentuk bulat,lengket, dan mengandung krim.jamur secara morfologi mempunyai karakteristik tertentu berdasarkan ukurannya,keberadaan kapsul,dinding sel yang tebal, pseudohifa, dan tipe-tipe spora yang dibentuknya.

    Beberapa mold adalah dimorfik. Mereka tumbuh sebagai sel tunggal atau hifa tergantung pada keadaan lingkungan. Sebagian besar jamur dimorfik tumbuh sebagai yeast pada suhu 37oC dan sebagai mold (miselium) ketika mereka dikultur pada suhu kamar.

    Jamur tumbuh pada batasan temperatur yang lebih sempit dibandingkan bakteri. Batasan temperatur normalnya adalah antara 0-35oC dengan temperatur optimum 20-30oC. Banyak jamur patogen yang memerlukan waktu lama untuk tumbuh sehingga untuk melakukan kultur jamur tersebut memerlukan waktu 2-6 minggu.

    Klasifikasi jamur berdasarkan bentuk morfologi, termasuk pembentukan septa dari hifa dan tipe dari sporolasi seksual dan aseksual serta ditambah dengan karakteristik fisiologis, biokimia, geografi, ekologi, dan sitologi. Kerajaan jamur memiliki 2 filum utama, yaitu Myxomycota dan Eumycota. Eumycota mempunyai 5 sub-filum dimana 4 dari sub-filum tersebutmengandung jamur-jamur yang diketahui menginfeksi manusia, mamalia lain, dan burung. Sub filum itu adalah: Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deuromycotina. Aspergillus termasuk sub-filum Ascomycotina dimana mempunyai karakteristik tertentu diantaranya: miselium dengan septa, memproduksi ascospora aseksual, serta banyak yang bersifat patogen pada manusia, seperti candidiasis, eumycotic mycetomas, blastomicosis di Amerika Utara, histoplasmosis, dan dermatomicosis. Urutan selanjutnya dari jamur genus Aspergillus:

    Klas    : Ascomyces

    Ordo    : Plectascales

    Famili    : Plectascaceae

    Genus    : Aspergillus

  2. Etiologi

    Genus Aspergillus merupakan salah satu dari genus terbesar golongan fungi (jamur), jmlah spesiesnya ratusan. Saat sekarang 20-30 spesies Aspergillus telah terlibat dalam penyakit manusia, disebut dengan aspergillosis. Yang terpenting diantaranya: Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus niger.


     

  3. Epidemiologi

    Genus ini ditemukan di seluruh dunia,normalnya bertindak sebagai saprofit pada tanah. Aspergillus memproduksi jutaanspora yang siap diterbangkan angin sehingga dari kadunganudara bisa diisolasi bermacam-macam spesies Aspergillus disemua tempat.


     

  4. Kultur

    Semua spesies Aspergillus dapat tumbuh dengan sangat baik dalam medium Sabouraud pada temperatur kamar atau 35 oC -37oC. Semua spesies Aspergillus adalah monomorfik. Beberapa strain dari spesies tertentu hidup lebih baik pada temperatur 35 oC -37oC dibanding pada temperatur kamar.

    Morfologi koloni Aspergillus bervariasi. Hal ini dikarenakan banyaknya spesies Aspergillus. Kadang koloni berwarna hitam, hijau, kuning, oranye, atau putih. A. fumigatus (penyebab utama aspergillosis pada manusia) membentuk koloni yang berwarna hijauterang setelah 3-4 hari masa inkubasi. Sebagai koloni yang telah matang, warnanya akan berubah menjadi hijau gelap, biasanya terjadi setelah 1-2 minggu masa inkubasi, kadang bisa juga muncul berwarna biru.

    Ciri-ciri bentuk koloni dari jamur Aspergillus hampir sama, tapi ada beberapa hal yang membedakannya, seperti:

    1. Warna koloni

      A. fumigatus mempunyai warna koloni hijau sampai hijau tua, A. flavus berwarna hijau kekuningan, A. nidulans berwarna hijau tua, A. glaucus berwarna hijua tua, biru, atau merah kekuningan. A. niger mempunyai koloni berwarna putih dengan kepala spora berwarna hitam, sedangkan koloni A. terreus berwarna coklat mengkilat.

    2. Ukuran spora

      A. fumigatus, A. nidulans, dan A. terreus mempunyai ukuran spora yang sangat kecil yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Sedangkan A. niger mempunyai ukuran spora yang lebih besar dan bisa dilihat tanpa menggunakan mikroskop.ukuran spora yang bervariasi dari kecil hingga besar ditemuakn pada A. flavus dan A. glaucus.

    3. Bentuk kepala

      A. fumigatus dan A. terreus mempunyai kepala berbentuk kolumnar. Bentuk kepala A. flavus adalah seperti kolumnar yang terbelah. A. nidulans seperti kolumnar pendek, A. glaucus berbentuk putaran, sedangkan A. niger berbentuk bundar seperti bola.

    4. Permukaan conidiophora

      Permukaan conidiophora dari A. flavus kasar, sedangkan A. fumigatus, A. nidulans, A. glaucus, A. niger, dan A. terreus adalah berdinding licin.

  5. Patogenesis pada manusia

    Kasus aspergillosis yang tersering pada manusia berupa alergi dan infeksi. Infeksi biasanya terjadi pada telinga luar (otomycosis). Penyebab tersering adalah A. fumigatus , tapi kadang-kadang juga ditemukan A. terreus, A. flavus, dan A. niger. Semua spesies ini bersifat termotoleren dan mampu mengelakkan pertahanan tubuh sehingga dengan mudah menyerang jaringan tubuh manusia.


BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN


 

  1. KERANGKA KONSEPTUAL

Salah satu alergen pencetus


 


 


 


 


 

Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Jamur Aspergillus Sebagai Salah Satu Kemungkinan Alergen Pencetus Rinitis Alergika Di Poliklinik THT Rs. Dr. M Djamil Padang


 

  1. HIPOTESIS PENELITIAN

Jamur Aspergillus berperan sebagai salah satu kemungkinan alergen pencetus rinitis alergika di Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang.

BAB IV

MATERI DAN METODE PENELITIAN


 

  1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan di Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang dan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada tanggal 1-31 Desember 2006.


     

  2. Jenis Penelitian

    Penelitian primer eksperimental.


     

  3. Sampel Penelitian


 

Sampel adalah pasien rinitis alergika di Poliklinik THT RS. Dr. M. Djamil Padang selama periode Desember 2006 (1-31 Desember 2006).


 

  1. Definisi Operasional
    1. Medium Agar Sebouraud

      Agar Sebouraud merupakan agar yang biasa dipakai dalam kultur jamur untuk diagnosis laboratorium. Formula yang digunakan dalam setiap liter air dalam pembuatan medium agar Sebouraud adalah:

      1. Enzim pencernaan yang berasal dari pangkreas, seperti kasein 5,0 gram
      2. Enzim pencernaan dalam lambung hewan 5,0 gram
      3. Dekstrosa 40,0 gram
      4. Agar 15,0 gram

      Kesemua bahan di atas tercampur dalam bentuk powder.

      Cara pembuatan agar Sebouraud adalah:

      65,0 gram suspensi powder yang merupakan campuran formula di atas, ditambah dengan 1 liter air murni. Kedalam larutan ditambahkan antibiotik Chloramphenicol untukmencegah pertumbuhan bakteri. Kemudian direbus selama satu menit untuk menyempurnakan terlarutnya powder di dalam air. Setelah terbentuk agar, disterilkan dalam autoclave pada suhu 121oC pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

    2. Thio glycholat

      Zat ini merupakan suatu medium cair yang biasanya digunakan untuk penyemaian kuman dan juga digunakan untuk jamur dalam mempertahankan agar jamur tidak mati.

    3. Spesimen; merupakan bahan yang akan diteliti.


     

  2. Alat dan Bahan
    1. Kapas lidi steril
    2. Agar Sebouraud sebagai medium penanaman kuman
    3. Gelas objek
    4. Coverslips
    5. Thio glycholat
    6. Lactophenol cotton blue


     

  3. Cara Kerja
    1. Pengambilan spesimen pada sampel penelitian

      Langkah pertama, melakukan usapan hidung dengankapas lidi sterilpada sampel.

    2. Proses pembasahan pada kapas lidi steril

      Langkah kedua, manambahkan 2,5 cc thio glycholat pada botol kecil yang berisi kapas lidi steril yang telah digunakan untuk melakukan usapan pada sampel.

    3. Proses penanaman (kultur) spesimen

      Langkah ketiga, mengoleskan kapas lidi steril yang telah basah pada medium agar Sebouraud secaramerata dengan memperhatikan garis penanaman, kemudian disebarkan dengan menggunakan ose yang harus dibakar hingga berpijar sebelum dan sesudah penggunaan. Hasil kultur dinilai setelah satu minggu (7 hari).

    4. Konfirmasi hasil

      Untuk memastikan jenis jamur yang tumbuh secara mikroskopik dilakukan di bawah mikroskop. Caranya:

      1. Tempelkan coverslips pada permukaan koloni jamur yang telah tumbuh, ukurannya 40mm x 20mm.
      2. Tempelkan coverslips pada gelas objek, tambahkan setetes pewarna latophenol cotton blue.
      3. Lihat morfologi jamur di bawah miroskop, bandingkan dengan literatur.


 

  1. Teknik Pengumpulan Data

    Data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan usapan hidung penderita rinitis alergika.yang ditentukan di sini adalah ada tidaknya koloni jamur Aspergillus pada kultur usapan hidung penderita.


     

  2. Pengolahan dan Analisis Data

    Data diolah secara manual dandisajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. Analisa data dilakukan dengan menentukan tinggi rendahnya persentase pasien penderita rinitis alergika yang pada usapan hidungnya ditemukan jamur Aspergillus.

6 komentar:

Maisyah Nelzima mengatakan...

sip... bermanfaat bgt! thank's ya ce contoh proposalnya!^_^

Muchlisin mengatakan...

Lengkap nih proposalnya. Nice posting!

Newbie Adsense mengatakan...

Nice posting. Usefull for student

micelia amalia sari mengatakan...

@ meisya
alhamdulillah...
same2..

@muchlisin
yah..jd malu, ni bukan bukan ori tulisan c, punya org..

@succesparenting
thanx for ur visiting :)

yanmaneee mengatakan...

longchamp
off white clothing
yeezy boost 350
jordan 12
golden goose sneakers
longchamp outlet
jordan 1
kobe basketball shoes
supreme hoodie
golden goose outlet

Unknown mengatakan...

go right here Visit Your URL these details Valentino Dolabuy visit this site www.dolabuy.ru

tweets

temen-temen

translate it

Google-Translate-Chinese (Simplified) BETA Google-Translate-English to French Google-Translate-English to German Google-Translate-English to Italian
Google-Translate-English to Japanese BETA Google-Translate-English to Korean BETA Google-Translate-English to Russian BETA Google-Translate-English to Spanish
Powered by
Grab this widget